Malam telah tiba, rombongan itu terpaksa hentikan perjalanan, sudah saatnya beristirahat. Ternyata Hutan Kayu Wangi benar-benar jauh, apalagi mereka bergerak lamban.
Setelah menikmati makan malam, setiap orang bubar ke tempat peristirahatan masing-masing. Dhanu tak dapat tidur, dia menatap gelisah pada saudara-saudara seperguruannya.
"Maafkan aku, kawan-kawan. Gara-gara aki kalian jadi ikut susah."Dhanu pandangi Wiladi, Jatayu, Jelitheng, dan Prayetno. Keempatnya tidur saling berdempetan karena udara malam di hutan itu begitu dingin. Di jurusan lain lima saudara seperguruannya yang lain tidur dengan cara yang sama. Padepokan Kembang Dewa hanya memiliki sebelas orang murid, termasuk dirinya dan Anggun.
Anggun sendiri tidur bersama Nyai Jinggan dan Ratu Kameswari. Tak jauh dari ketiga perempuan itu, Ki Cipta Reksa dan Pangeran Esa tidur di dekat sebuah pohon.
Pandangan Dhanu beralih pada orang di sebelah kanannya, yaitu Lintang. Dhanu agak tersenyum melihat lelaki itu, apalagi ternyata Lintang tidur sambil mendengkur halus. Dhanu kini sadar, ternyata Lintang benar-benar ganteng.
"Aku juga minta maaf padamu, Lintang. Secara tak langsung aku juga yang menyebabkan Dewi Ular menyerbu dan membunuh ayahmu." Rasa iba itu kembali terbit di hatinya.Dhanu lanjut beralih ke sebelah kiri, di sana ada Hanggara dan.... Dhanu terkejut, kemana lelaki itu? Kenapa menghilang? Giri?
Dhanu bangkit, dengan gerakan hati-hati dia berdiri dan memperhatikan semua orang, ternyata benar, Giri Prawara tidak ada. Ingin rasanya Dhanu berteriak memanggil, namun dia tahu itu akan membangunkan semua orang. Dia tak ingin mengganggu mereka yang sedang beristirahat. Akhirnya Dhanu bergerak mencari-cari Giri ke sekitar tempat peristirahatan mereka.Dhanu berhasil menjumpai Giri, tampak lelaki itu sedang duduk di atas sebuah batu, di depannya ada sebuah jurang kecil yang tak seberapa dalam. Giri tampak sedang memandangi bulan sabit yang menggantung di atas langit. Di tangan kanannya tergenggam setangkai mawar merah yang sedang dibelai oleh tangan kiri, sesekali Giri mencium bunga itu.
Dhanu berdebar-debar melihat Giri saat itu, meski hanya bulan sabit, namun langit tampak cerah hingga dia dapat melihat Giri dengan jelas. Begitu gagah dan tampak agung.
Dhanu tersenyum, "Giri, kau masih sama seperti dulu. Gagah dan berkharisma." Bisik suara hatinya.Dhanu bergerak mendekati Giri, setelah cuma terpisah lima langkah, Dhanu pun menyapa, "Eyang."
Giri tidak terkejut, sebenarnya dia sudah tahu bahwa dia sedang diuntit, cuma dia tak menyangka jika yang mengintipnya adalah Dhanu. Giri pun menoleh lalu tersenyum agak kaku, namun justru membuatnya tampak semakin jantan.
"Eyang?" Heran Giri mendengar panggilan itu.
Dhanu tersenyum miris, sebelumnya dia sudah tahu bahwa Giri lupa akan masa lalu, hanya saja dia tak menyangka bahwa semua kenangan Giri saat bersamanya benar-benar terkikis habis.
"Kenapa heran? Dulu aku sering mrmanggilmu eyang." Dhanu sumringah, dengan riang dia menghampiri Giri dan duduk di sebelahnya.
Giri agak kikuk, dia geser duduknya sedikit agar Dhanu bisa lebih leluasa.
Keduanya kemudian menatap bulan sabit bersama."Indah ya," celetuk Dhanu.
"Ya, tapi ada sesuatu yang lebih indah," sahut Giri.
"Apa?" Dhanu penasaran.
Giri tersenyum, dia mengacungkan bunga mawar di tangannya. Lalu mawar itu di dekatkan pada wajah Dhanu. Bahkan mawar itu menempel di pipinya.
"Mawar ini, dan juga dirimu."Serrrr, berdesir indah aliran darah Dhanu. Apalagi saat dia merasa mawar itu digerakkan membelai-belai sekujur wajahnya.
"Giri, bukankah, bukankah kau lupa padaku?" Tanya Dhanu dengan dada berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAWAR DARAH & HALILINTAR BIRU
Fantasy"Hridaya pravahita anugraha" Cinta adalah anugerah yang mengalir dari hati. Lintang Arganata seorang murid cekatan dari padepokan Linggabuana mendapatkan tugas memberikan undangan adu tanding Kanuragan ke Padepokan Kembang Dewa. Di sana Lintang Arg...