Maafkan..

109 9 0
                                    

Pekan lalu, Ayyash sakit beberapa hari. Hari Rabu beberapa teman dan ortu menjenguk. Mungkin Karena terlalu senang akhirnya ketemu temannya, atau sedang mencari perhatian, Ayyash bertingkah berlebihan. Mulai membongkar bola-bola mainannya dan melemparkan ke teman-teman dan ummi nya.
"Bang, kalau mau main lempar bola silahkan diluar ," peringatan pertama dari saya. Ia berhenti sebentar, lalu mengulanginya lagi. Lemparan kesekian mengenai gelas.

"Bang, stop. Bunda mau bicara sebentar ." Peringatan kedua. Saya meraihnya duduk di pangkuan, bergeser ke sudut, lalu berbisik, "Stop melempar bola. Bisa kena gelas atau kena ummi. Nggak sopan." Ia cemberut.

"Ayyash mau main bola,"
"Kalau gitu abang main di luar."
"Ayyash masih sakit, nih.."
"Kalau gitu main yang lain saja, ya."

Ia menurut, mangeluarkan mobil-mobilan. Tapi beberapa menit berikutnya kembali melempar bola-bolanya. Kena temannya, saya angkat satu jari. Peringatan ketiga. Dia nyengir. Masih melempar, dan beneran kena ummi nya. Sip. Peringatan ketiga sudah lewat. Ia meringis takut.

"Ayyash, stop. Masuk kamar. Ayyash kena konsekwensi karena tetap melempar bola di dalam."
"Maaf.. maaf.. Ayyash minta maaf.."
"Masuk kamar. Dua menit." Final, saya menyetel alarm. Dia masuk kamar dan menutup pintu, masih berusaha meminta maaf agar konsekwensi dicabut.

Melihat suasana tidak kondusif, para tamu izin pulang. Ayyash panik, mulai menangis Karena masih ingin bermain dengan teman-temannya. Saat dua menit habis dan Ayyash keluar kamar, mereka sudah berkemas. Ayyash mulai tantrum. Menjerit dan menangis, meronta di pelukan saya. Lalu memohon agar mereka mau tinggal lebih lama.

"Ayyash minta maaf.. Ayyash mau main.. Jangan pulang.. Jangan pulang.."

Saya bergeming. Sembari memeluknya, saya mengizinkan para tamu pulang. Ayyash menjerit-jerit, bahkan berlari menyusul hingga ke gang di depan rumah. Saat akhirnya ia kembali ke dekapan saya, tangisnya belum reda.
"Abang tenang dulu, ya. Ayo kita masuk kamar, kita berbaring yok. Bunda temani."
"Bunda nih! Teman Ayyash pulang semua. Ini karena bunda! Ayyash marah! Ayyash marah sama bunda!"

Saya beri segelas air dingin, lalu saya biarkan ia menangis sepuasnya. Ayyash meringkuk di tempat tidur. Sesenggukan. Terkadang bangun lalu menatap saya dengan air mata berlelehan di pipi. Hati saya mencelos, merasa bersalah. Tapi saya tetap diam. Kami berdua butuh pikiran tenang agar bisa bicara.

"Ayyash kesal sama bunda," akhirnya ia buka suara.
"Ia bunda tahu."
"Kenapa Ayyash dikasih konsekwensi? Kenapa disuruh masuk kamar?"
"Abang tahu kan, kenapa?"
"Iya. Karena lempar bola di dalam rumah. Karena kena ummi sama Faiqa."
"Benar. Dan karena bunda sudah ingatkan Abang supaya stop, tapi Abang nggak mau menurut."
"Tapi kan Ayyash udah minta maaf.."
"Abang tahu kan lempar-lempar bola di dalam rumah, waktu Ada tamu itu nggak sopan? Iya Abang minta maaf. Tapi bunda tetap kasih konsekwensi supaya Abang jera. Nggak mengulangi lagi."
"Iya tapi kan Ada teman Ayyash."

Deg.
Ini dia.
Ini sumber tantrum dan kemarahan Ayyash. Bukan karena saya beri ia konsekwensi atas ketidakpatuhannya. Karena dia pun tahu dia salah. Bukan karena saya terlalu keras, karena saya tidak memukul atau mengancamnya. Tapi Karena harga dirinya saya sobek di depan orang lain.

Tapi kan Ada TEMAN AYYASH!
Kalimatnya membawa kesadaran saya.
Kan Ayyash sudah MINTA MAAF.
Seharusnya saya sadar tiga prinsip pengasuhan yang saya tekankan pada diri selama ini. Tidak membandingkan, tidak mencela, tidak menghukum di depan orang lain. Ayyash pasti malu sekali, dihukum di depan teman-temannya. Lalu ia berfikir mereka pulang karena ia nakal dan dihukum. Seharusnya tadi saya bisa memberi nya kesempatan setelah meminta maaf. Atau menyimpan bola-bolanya agar ia tidak melempar lagi. Itu lebih tepat. Dan sekarang terlambat. Harga dirinya sudah jatuh. Yang bisa saya lakukan adalah menaikkan lagi percaya dirinya. Dan meminta maafnya.
"Maaf, ya kalau bunda membuat Ayyash marah. Ayyash marah dan malu ya?"
"Iya. Bunda kenapa gitu?"
"Karena Ayyash nggak dengerin bunda. Padahal bunda sudah bilang sampai tiga kali, kan."
"..."
"Ayyash juga salah, kan?"
"Iya. Karena nggak nurutin bunda. Maaf ya bunda,"
"Sama-sama. Bunda minta maaf karena menghukum Ayyash di depan teman-teman. Sama-sama nggak diulangi lagi ya, Bang?"
"Iya."
"Bang Ayyash anak yang sopan. Bunda sayang sama Abang. Sayang sekali."
"Emm.. Ayyash tahu, kok. Ayyash juga sayang bunda."

Pelukan dari Ayyash mengakhiri perseteruan kami. Betapa mengasuh memang butuh energi, ilmu, dan amunisi sabar. Bukan sekali dua saya melakukan kesalahan. Karena memang tidak ada kurikulum parenting di sekolah kita. Yang penting adalah belajar dari salah langkah itu. Memperbaiki dan membangun bonding yang lebih kuat dengan anak.

Bahkan saya terkadang belajar banyak dari Ayyash. Di usia yang belum genap lima tahun, ia mengajarkan saya banyak sisi kedewasaan yang sering saya abaikan.

030217


Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang