Ayyash marah. Sangat marah hingga ia berteriak dan memukul Abyas. Nggak, dia nggak pernah begini sebelumnya. Pasti ada rengginang di balik kaleng monde.
Sehabis sholat subuh tadi Ayyash menemui saya di dapur. Meminjam ponsel untuk membuat proyek rahasia katanya.
"Ini rahasia ya. Kejutan. Jangan ada yang ke ruang tamu ya. Abi juga." Nah, itu ultimatum.
Tapi ternyata Abyas bolak balik ke ruang tamu karena mengambil beberapa barang. Kali ketiga Abyas menerobos ruang tamu, Ayyash menangis dan marah besar. Saya berusaha menengahi, dengan menenangkan Ayyash dan meminta Abyas masuk kamar dulu. Ayyash nggak mau beranjak dari 'lokasi syuting' yang disusunnya jadi Abyas mengalah dulu. Setelah Ayyash tenang baru saya ajak ngomong dengan santai.
"Abi itu terus aja mengganggu. Kan Ayyash dah bilang ini rahasia, kenapa bolak-balik kesini terus?"
"Karena ada yang perlu diambil Abi, Nak. Bukan mau gangguin Ayyash."
"Tapi Ayyash nggak suka. Abi harusnya nggak boleh lihat. Dikit juga nggak boleh."
"Kenapa? Karena rahasia?"
"Iya."
"Kan kita sepakat nggak boleh ada rahasia antara kita bertiga."
"Ini mau jadi kejutan. Abi nggak boleh lihat biar nggak bikin kesel." Oh?
"Kesel gimana?"
"Abi tuh, kalo Ayyash bilang 'lihat Abi, Ayyash bikin ini!' nanti dia bilang 'Oo, itu Abi tahu. Udah lihat', Ayyash jadi kesel."
Hmm.. New things to figure out. Saya katakan saya akan ngomong ke abinya dan mengusulkan agar Ayyash pindah lokasi ke kamarnya agar lebih private. Sebelumnya saya ajak dia minta maaf dulu ke Abyas karena memukul orang tua itu bukan perbuatan baik.
Setelah membantu Ayyash mengatur ulang set lokasi dan menyiapkan videonya, saya masuk kamar. Menemui Abyas yang lagi tidur-tidur ayam.
"Mau tahu nggak kenapa Ayyash ngamuk sama Husbie tadi?" Saya to the point, lalu mengurangi kembali percakapan saya dengan si kecil.
"Kan Abi ngomong jujur?" elaknya.
"Kadang-kadang kita nggak harus terlalu jujur lah, Bie. Kasih lah sedikit akting ke Ayyash semacam 'hoaa.. Bagus banget. Kapan Ayyash bikin ini? Kok Abi nggak tahu?' karena itu membuat dia ngerasa keren. Dia tuh lagi butuh pengakuan diri. Eksistensi dia dan karyanya tuh butuh apresiasi dan pujian. White lie dikit nggak papa lah say, biar dia agak bangga ke dirinya."
"Kalo Adek emangnya nggak gitu ya?"
"Coba aja tanya anaknya," jawab saya jumawa. Abyas terkekeh.
"Ya. Nanti Abi coba," janjinya.
"Sekalian minta maaf, ya."
"Iyyaaa.."
#*#*#*
Ada tiga hal yang saya pelajari hari ini dari amukan Ayyash ;
1. Anak butuh pengakuan atas eksistensi dan karyanya. White lie is forgiven asal nggak terlalu 'tinggi' dan cenderung menyanjung berlebihan. Sambutan antusias dan binar mata kita sudah cukup baginya untuk merayakan keberhasilannya.
2. Anak butuh privasi. Mereka juga makhluk pribadi yang punya teritori sendiri. Sebisa mungkin saya memberinya waktu dan tempat untuk 'menyendiri' beberapa saat. Seperti juga kami yang butuh privasi di saat-saat tertentu. Tapi secara berkala saya juga memeriksa teritorialnya, untuk memastikan nggak ada hal-hal terlarang disana. Juga menegaskan bahwa di antara kami nggak boleh ada rahasia, berharap ia akan bercerita tentang semua hal yang ia alami,dengar dan rasa. You know, even a five year old sometimes received odd and strange things and attitude from their friends. I'll make sure he won't step out our family values.
3. Tak ada salahnya orang tua meminta maaf pada anak. Lha kan ortu juga manusia, punya rasa punya hati dan punya salah. Karena anak belajar dari keteladanan, maka kalau saya ingin anak saya berani mengakui kesalahannya maka saya dan suami juga harus melakukan hal yang sama terlebih dahulu.
Kamar di Kampar, 101017
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Non-Fiction#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...