Tujuh tahun berjibaku di dunia kerumahtanggaan sekaligus nyambi di dunia kerja membuat saya merasakan "kebebasan" saat awal-awal resign. Awalnya saya bisa me manage hal tersebut. Tetap produktif secara finansial, misalnya. Lalu perlahan saya sadar saya masuk ke zona nyaman, tepatnya sekitar setahun setelah resign. Saya tak lagi merasa tertantang untuk menghasilkan sesuatu, saya juga mulai tergantung pada suami--yang mana hal ini sangat saya hindari dari awal pernikahan. Well, merasa klop dan terlengkapi boleh, tapi tergantung jangan karena tergantung hanya boleh dirasakan pada Sang Pencipta. Ini prinsip saya.
Kembali ke bahasan zona nyaman tadi, saya merasa seperti jalan di tempat. Ujung-ujungnya saya tak lagi antusias mendampingi tumbuh kembang Ayyash dan mulai mempertanyakan keputusan saya untuk resign. Parah? Yes, I was that lame hahaha. Saya jelas merasa tak suka dengan hal ini. Apa yang terjadi dengan saya? Kenapa kehilangan antusiasme? Kenapa hanya menunggu bola? Kenapa nyaris tanpa inisiatif? Selama beberapa bulan saya memikirkannya, lalu sampai pada jawaban ; saya kurang pakai hati ketika menjalani peran ini. Pasrah aja, gugur kewajiban, nggak mau repot.
Maksudnya, saya hanya menjalani peran sebagai istri dan Ibu sambil lalu, sesuai pakem yang ada ; mendampingi suami dan mendidik anak. Udah. Case closed. Tapi saya lupa menggali sisi lain peran itu, bahwa saya harus all out, bahwa saya punya potensi yang harus saya gali--passion saya, dan pasti Allah punya alasan tersendiri menempatkan saya disini. Dengan keadaan ini, bersama orang-orang ini--anak dan suami, keluarga serta masyarakat lingkungan saya. Ah, saya lupa bahwa menjadi IRT juga kudu profesional.
Maka saya berusaha memperbaiki diri. Mulai dari meluruskan niat. Lalu menggali ilmu kembali. Memilah prioritas, menggali potensi (ilmu saat di bangku kuliah bermanfaat banget di sesi ini), lalu menetapkan achievement sekaligus patokan waktunya. Saya belajar menyamakan visi misi kembali dengan suami. Melibatkan Ayyash lebih banyak dalam diskusi dan proyek keluarga--nggak masalah usianya belum genap enam tahun--dengan memberinya kesempatan berpendapat dan mengambil peran.
Saya mulai mendalami apa passion saya. Berusaha memberi sesuatu pada lingkungan sekitar walaupun cuma perbuatan kecil. Menyusun kandang waktu (jadwal aktivitas) agar kewajiban reguler tidak berbenturan dengan kegiatan utama ; mendampingi pendidikan Ayyash. Saya juga belajar lagi, mengambil sebuah kursus agar otak saya tetap "bekerja". Yang membaca esai saya tentang perlunya seorang ibu pintar dan rajin belajar pasti mengerti alasan saya sekolah lagi hehe..
Maka saya putuskan untuk keluar dari zona nyaman saya sebagai IRT. Saya pernah dituntut untuk profesional dan selalu mengembangkan diri saat masih berkarir. Maka saya juga harus profesional dan berkembang saat berkhidmat di rumah. Tetap mandiri dan memiliki pencapaian sendiri. Saya juga harus tetap produktif dalam artian harus ada sesuatu yang saya hasilkan dan berguna untuk orang lain. Ada banyak kesulitan, termasuk pandangan masyarakat bahwa kalau sudah jadi IRT full ya mentok aja di rumah, ngurusin urusan domestik dan ujung-ujungnya bakal kalah intelek dari IRT yang berkarir di luar rumah.
Padahal jadi IRT juga harus profesional lho. Ibu profesional berarti ibu yang menjalani peran dengan sepenuh hati, selalu mengupgrade kualitas diri, dan memberi manfaat bagi orang sekitarnya. Keluarlah dari zona nyaman agar bisa berkembang. Karena zona nyaman yang melenakan itu mematikan. Hiiiihhh.. Takuuut!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Non-Fiction#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...