Tulisan ini mendapat salah satu posisi juara di Lomba Menulis Esai "Indonesia Yang Lebih Baik Di Mata Perempuan" yang diselenggarakan komunitas menulis Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) dan dimuat di www.emakpintar.asia dan blog catatanmakyas.blogger.com.
Selain itu merupakan plagiarisme.
#*#*#*#*#**#*#*#*#*
Seorang ibu melirik anak laki-laki di dekatnya yang sedang asyik memutar-mutar bola kecil di tangannya dengan pandangan menerawang. Sang ibu lalu menarik anaknya sendiri merapat ke tubuhnya, lalu berbisik "sini, jangan dekat-dekat dia, kalo dia ngamuk bahaya."
Di tempat lain, saat suasana ramai di sebuah seminar parenting, seorang peserta memandang anak di sebelahnya dengan heran. Si kecil sedang menunduk dalam di pelukan ibunya. Lalu ia berpaling ke ibu si anak dan bertanya dengan suara yang tidak bisa dikatakan pelan sambil menunjuk anak di pelukannya,"dia kenapa? Anak ini bermasalah, ya?" Tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang tiba-tiba pias, atau kami di sekitarnya yang mendadak jadi super kepo dan beberapa ikut menatap ibu dan anak itu.
Dua tahun lalu, saat ke sebuah rumah sakit mata untuk check up saya tersenyum dan menyapa seorang anak yang terus memandangi saya penuh minat. Saya tersenyum juga pada ibunya yang cantik dan masih berseragam kantor. Ketika mereka akan pulang, sang ibu berjalan mendahului si anak, lalu berhenti di depan pintu. Menatap kesal pada anaknya yang masih menatap saya, "hei, cepat! Mau pulang nggak?!" Dan setelah beberapa kali panggilan si anak berjalan ke pintu keluar. Sementara ibunya sudah mendahuluinya masuk ke dalam mobil masih dengan wajah dilipat tujuh.
Kali lain seorang ayah menanyakan sampai sejauh mana kemampuan keponakannya di usia balita nya. Ibu si anak tersenyum sambil menjelaskan tumbuh kembang anaknya , dan si paman mengernyit heran, "ooh, anakku umur segitu sudah bisa blablabla...". Dia dengan anaknya yang normal, dan keponakannya yang anak spesial.
Yap, semua kejadian yang saya ceritakan di atas melibatkan anak-anak spesial. Anak-anak berkebutuhan khusus. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang bersikap kurang ramah pada anak-anak spesial, seakan mereka itu pengganggu dan aneh. Mungkin masih banyak ketidakpahaman di kepala mereka mengenai anak-anak ini. Mungkin mereka hanya penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang si anak lalu bertanya langsung pada orang tuanya secara frontal tanpa ingat bahwa si anak bisa mendengarnya seperti juga orang-orang di sekitar mereka yang mendadak kepo karena pertanyaan itu. Mungkin orang tua juga merasa sangat lelah dan nyaris frustasi dengan tingkah anak spesial nya yang terkadang mengundang pandangan dan komentar miring orang di sekitar. Well, seorang anak spesial memang butuh pengasuhan, ilmu dan perhatian khusus. Atau mungkin seseorang membandingkan si anak dengan anak lainnya, hanya karena ingin memberi semangat pada orang tua si anak, dan lupa bahwa tiap anak tidak bisa dibanding-bandingkan. Entah itu sesama anak spesial, apalagi anak spesial dengan yang normal.
Saat ingin menuliskan tentang Indonesia yang lebih baik di mata saya sebagai perempuan, saya berfikir bahwa saya ingin Indonesia yang peraturan dan masyarakatnya bisa lebih ramah pada anak-anak spesial. Bukan hanya karena saya memiliki salah satu dari anak spesial itu, tapi juga karena saya yakin mereka adalah anak-anak yang luar biasa, terlepas dari kekurangan-kekurangan mereka dan kebutuhan lebih mereka akan perhatian kita . Hey, karena itulah mereka disebut spesial, istimewa, berkebutuhan khusus. Saya ingin Indonesia dan masyarakatnya memperlakukan anak-anak ini dengan lebih baik. Sebenarnya dalam undang-undang sudah diatur tentang pendidikan anak spesial. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Undang–undang No. 20 Tahun 2003) pasal 32 menyebutkan bahwa "Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa." Artinya dalam hal pendidikan sudah diatur hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan anak yang normal. Layak dan tidak dibeda-bedakan. Jika dalam pendidikan mereka memiliki hak yang sama, tentu dalam hak yang lain juga begitu, bukan?
Tapi memang undang-undang dan kenyataan bisa berbeda. Pada kenyataannya anak spesial masih dianggap berbeda dan diperlakukan berbeda. Masih dianggap anak "kelas dua", bahkan beberapa kalangan memandang sinis keberadaan mereka. Bahwa mereka pengganggu, merepotkan, bahkan dianggap membawa sial. Kok bisa begitu, ya? Bisa jadi karena ketidaktahuan orang tua dan masyarakat terhadap gangguan yang dialami anaknya. Di lingkungan saya, belum banyak orang tua yang melakukan screening terhadap anaknya ketika menunjukkan ciri-ciri gangguan dalam perkembangan. Masih menganggap hal itu biasa dan akan normal sendiri seiring waktu. Jikapun akhirnya orang tua sadar ada yang "berbeda" dengan anaknya, kebanyakan masih kesulitan mendapat bantuan dari tenaga ahli. Mahalnya biaya terapi dan assessment di psikolog atau dokter anak yang ahli di bidang tumbuh kembang, dan terbatasnya sekolah yang dapat menerima anak spesial menyebabkan anak spesial ditangani dengan tidak optimal. Di lain pihak, orang sekitar juga tidak mendukung perkembangan anak spesial tersebut. Kebanyakan justru malah merasa takut, enggan, dan terganggu akan kehadiran mereka. Padahal jika ditangani dengan baik, anak-anak spesial juga bisa berprestasi.
Bukankah terapi dan pengobatan untuk mereka bisa ditanggung BPJS? Ya, benar sekali. BPJS juga menanggung biaya assessment dan konsultasi pada dokter spesialis. Tapi pada prakteknya, terapi yang diterima sangat jauh dari kata optimal. Saya tidak tahu bagaimana pelayanan terapi untuk anak spesial di kota lain, tapi di kota saya satu sesi terapi yang harusnya dinikmati seorang anak harus dinikmati bersama dua atau tiga anak sekaligus. Jadi jika satu sesi terapi adalah enam puluh menit, satu anak hanya akan mendapat jatah dua puluh atau tiga puluh menit saja. Ingin terapi yang lebih baik? Bisa. Di klinik tumbuh kembang swasta bisa didapatkan. Tapi biayanya tentu saja lumayan tinggi. Selain treatment di rumah sakit, anak spesial juga membutuhkan treatment di rumah bersama orang tua dan keluarga. Disini perlunya kerja sama seluruh anggota keluarga serta penerimaan dan pemahaman dari lingkungan sekitar. Semakin baik penerimaan dari orang-orang di sekitarnya, semakin baik pula perkembangan si anak. Tapi jelas penerimaan orang sekitar didasarkan pada ilmu dan pemahaman yang mereka miliki tentang anak spesial. Disini juga diperlukan peran serta pemerintah dan perangkatnya. Seminar, sosialisasi, dan penjelasan tentang apa dan bagaimana anak spesial itu sangat diperlukan. Komunitas orang tua dan tenaga profesional yang berkecimpung di dunia perawatan dan pendidikan anak spesial juga perlu dibentuk. Agar orang tua dapat saling menguatkan, bertukar informasi, dan mengupgrade pemahaman mereka tentang anak spesial yang dititip Tuhan pada mereka. Dinas kesehatan bisa bergerak dengan menggandeng asosiasi dan organisasi terkait. Misalnya AOTI (Asosiasi Okupasi Terapi Indonesia), IKATWI (Ikatan Terapis Wicara Indonesia), dan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan konseling untuk anak spesial. Kalau masyarakat sudah paham, maka mereka akan lebih mudah menerima anak spesial tanpa membeda-bedakan dengan anak yang normal.
Di sisi lain, pemerintah juga dapat membuat peraturan dan undang-undang yang ramah pada anak spesial. Agar mereka benar-benar mendapat pendidikan dan treatment yang layak dan bisa berkecimpung di masyarakat dan berbagai bidang tanpa dipandang rendah dan dibatasi aksesnya. Masyarakat yang lebih aware dan pemerintah yang lebih peduli akan menciptakan Indonesia yang lebih ramah dan empati pada anak-anak special. Pada akhirnya akan turut menciptakan Indonesia yang lebih baik, karena moral suatu masyarakat akan membentuk moral sebuah bangsa. Dan bangsa yang bermoral tinggi tentulah bangsa hebat yang disegani di dunia.
Pekanbaru, 20 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Non-Fiction#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...