Conversation 2

63 10 1
                                    

Pagi tadi, jelang siang, dan saya berubah jadi tokoh antagonis. Kesal dengan Abyas membawa aura menyeramkan, hingga Ayyash juga kecipratan. Ini emosi jiwa paling parah sejak dua tahun terakhir. Well, saya memang masih belajar jadi pengendali amarah. Selama ini saya masih bisa berhasil, tapi ujian kali ini membuat saya gagal jadi avatar.

Setelah tidur lima belas menit menjelang zuhur lalu bermain air dengan Ayyash, saya mulai stabil.
"Baca buku yok, Ayyash," saya atur bantal di tempat tidurnya. Ayyash mengamati saya dari samping.

"Bunda, kalo Ayyash meninggal duluan, trus Bunda jadi tua.. Semakin tua.. Trus Bunda gimana?"

Saya bergeming, tak berani menoleh. "Pasti Bunda jadi kesepian," seiring jawaban saya sebuah tangan tak kasat mata meremas jantung saya.

Ia masih menatap, melanjutkan, "Bunda jadi bebas, dong. Bebas kerja kerja. Bebas ngapain aja.." Sekarang jantung saya mulai berdarah.

"Mungkin Bunda jadi bebas, tapi tetap kesepian. Karena nggak ada Ayyash. Karena Bunda cuma punya Ayyash." Jantung berdarah saya kini naik ke tenggorokan. Menyumbat jalan nafas dan memancing pedih teramat sangat.

"Kan ada Abi." _Please, son. Could you please stop talking about it? I am dying_

"Tetap beda, Ayyash. Nggak akan sama." Saya berbaring di tempat tidurnya. Ia beringsut naik, memperhatikan saya yang mulai membaca. Suasana berangsur normal. Selesai satu cerita, Ayyash bergeser ke bawah dan merangkul kaki saya. Minta diangkat, supaya dia bisa berpura-pura jadi pesawat. Mungkin karena bobotnya atau gerakan saya yang terlalu cepat, bekas caesar saya nyeri. Cepat-cepat saya turunkan Ayyash dan berbaring lurus.

"Mana bekas operasinya, Bunda? Lihat, lihat," saya tunjukkan garis di bawah perut. Ayyash menatap serius. "Kalo lukanya sobek gimana?"

"Nggak dong. Kan udah dijahit sama dokternya."

"Kalo Bunda lasak nanti sakit kan? Kalo main sama Ayyash sakit juga ya? Bisa sobek lah nanti.."

"Nggak sobek, tenang aja. Cuma sakit dikit aja," bendungan di mata hampir jebol. Anak ini memang biasanya bersikap peduli. Jangankan pada saya, pada temannya yang biasa menjahili saja dia masih peduli. Tapi hari ini, setelah sikap saya pagi tadi, pedulinya memaksa saya menahan nyeri di hati. Tapi anehnya saya belum meminta maaf padanya. Padahal kesalahan saya jelas terpampang di depan mata.

Maghrib itu saya biarkan Ayyash dan Abyas sholat di mesjid, sementara saya di rumah. Menangis sesenggukan di atas sajadah. Habis sudah. Semua teori pengendalian diri yang saya coba praktekkan tumbang dalam sehari. Saya kalah dengan amarah. Semua ilmu dari buku-buku yang saya baca habis dalam sekali sapu. Saya biarkan Ayyash jadi tumbal. Saya dan Abyas yang punya masalah, dan Ayyash harus berdiri di tengah-tengah. Tak berani saya bayangkan apa saja luka yang sudah saya goreskan di jiwanya dalam satu hari ini. Hanya satu hari. Walau saya tidak memukulnya, tapi jelas ada bekas di jiwanya.

Dan dia masih peduli. Masih memikirkan bekas caesar yang nyeri, masih memikirkan nasib saya seandainya dia tak ada lagi.
Seandainya dia tak ada lagi.
Seandainya dia tak ada lagi.

Satu percakapan yang membanting ego saya keras-keras ke lantai. Seandainya dia tak ada lagi. Seandainya dia dijemput oleh Sang Pemilik Hakiki. Lalu saya bisa apa? Lantas kenapa saya masih menyia-nyiakan satu hari untuk membiarkan akal digeser nafsu?
Malam menjelang tidurnya, saya mengelus punggungnya. Membisikkan kata maaf. Berkali-kali. Meski tahu luka sudah terjadi. Tapi saya masih berharap permintaan maaf saya sedikit bisa mengobati. Dia berbalik menghadapi saya, masih menutup mata. Lalu pelan-pelan menganggukkan kepala. Saya beristighfar berkali-kali. Ia mencolek saya, tanda saya boleh berhenti. Lalu berbalik kembali, dan jatuh ke dalam mimpi.

Dan saya kembali menata diri, dari awal. Menyusun lego pengendalian emosi saya dari keping pertama. Mendamaikan lagi _inner child_, supaya tidak kecolongan untuk kedua kalinya. Karena saya tidak ingin kembali menyesal. Kalimat itu terus berputar di otak saya,
Seandainya dia tidak ada lagi.
Seandainya dia tidak ada lagi..

#writingforhealing
#rumbelmenulis_iip_pekanbaru

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang