"Bunda, Ayyash kok nggak ada diajak main?""Hah? Masak iya? Selalu diajak, kan?"
"Duluu.. Ayyash nggak diajak main. Dicuekin aja. Sekarang baru diajak main."
Saya cengo bentar, melirik Abyas. Yang dilirik balas menggeleng.
"Dulunya itu kapan, Yash?"
"Dulu dulu duluuuuu banget. Waktu Ayyash masih kecil. Ayyash nggak diajak main sama Bunda. Dicuekin aja, ditinggal. Sekarang pas pas Ayyash udah besar baru sering diajak main. Kenapa, Bunda?"
Nggak menunggu sampai saya menjawab, dia langsung melesat ke teras. Menyusul balita tetangga yang hari itu bermain di rumah. Saya diam sebentar, sambil melipat pakaian.
"Ooh.. Chagi. Ngerti nggak yang di bilang Ayyash tadi?" saya menoleh pada suami.
"Nggak sih. Kapan Adek nggak ngajak dia main, ya? Selalu ngajak, kan."
"Mungkin maksudnya 'dulu' itu, waktu Adek kerja. Kan Ayyash dititip, ditinggal gitu. Pulangnya sore, baru main sama dia. Mungkin itu, nggak?"
"Oohh.."
Saya diam, lanjut melipat pakaian sambil mikir. Kalimat Ayyash tadi seperti.. Eum.. Seperti bentuk protes. Saya beneran nggak nyangka dia akan menanyakan itu. Hari terakhir saya ngantor, usia Ayyash dua tahun sepuluh bulan. Lalu saya resign, fokus pada Ayyash, dan merasa semua baik-baik saja. Rupanya ada memori yang tertinggal di otak Ayyash, bahwa dulu waktu dia masih kecil saya sering banget ninggalin dia, nyuekin, bukan ngajak main. Malah dititip dan membiarkan dia main dengan para pengasuh di daycare. Sementara saya di kantor.
Astaghfirullooh..
Ternyata, quality time saat weekend itu kurang. Ternyata, kebersamaan dua sampai tiga jam sebelum tidurnya itu menyisakan tanya. Kalau pagi kok aku ditinggal? Sampai sore? Setiap hari pula, kecuali Ahad. Ternyata walau setiap pagi saya pamit padanya untuk bekerja, mencari nafkah, dan dia 'setuju', dia tetap merasa ditinggalkan. Ternyata walau saya sebisa mungkin selalu memantaunya dari jauh, terkadang izin pulang cepat dari kantor agar bisa lebih awal menjemputnya, masih ada tanya di kepalanya. Kok aku ditinggal?
Padahal usia itu dia masih sangat cuek, minim atensi, sudah bisa bicara tapi masih menjalani terapi. Saya pikir dia tak peduli, ternyata di balik cueknya dia tetap peka. Hanya tak bisa mengungkapkan rasa melalui kata. Tapi di kepalanya masih ada tanya, kenapa aku nggak ditemenin Bunda?
Saya ingat hari pertama resign, Ayyash bangun pagi dengan wajah heran. Diam di kasur dan menatap saya lama sekali.
"Bunda nggak kerja hari ini. Ngapain kita, yaaa?" saya rebah di sampingnya. Lantas kami gegoleran sampai jelang siang. Dia nggak minta apa-apa, cuma mau saya di tempat tidur.
Hingga seminggu berselang, kayaknya dia belum ngeh kalau saya sudah resign. Padahal setiap pagi saya ngomong 'Bunda nggak kerja lagi hari ini' padanya hehehe. Entah mungkin sebulan atau dua bulan kemudian, dia baru sadar saya nggak lagi pergi pagi-pagi. Dia nggak lagi diantar ke daycare bareng Abi.
"Buda dak keja lagi? Dak kantol lagi?"
"Nggak. Kan Bunda udah berhenti kerja di kantor. Disini aja sama Ayyash, temani Ayyash main, belajar, makan, tidur.."
Dia diam, memiringkan kepala sambil memandang kejauhan. Khas Ayyash kalau sedang mikir.
"Ha? Dak keja lagi. Sama Ayyash ya."
"Iya. Suka?"
"Suka! Suka suka! Aaaahhh! Hahahahaha.."
Senyumnya melebar dari pipi ke pipi. Lonjakannya seakan menyentuh langit-langit. Saya memeluknya lantas memegangi tangannya sambil membiarkan ia melompat-lompat lagi, mencegah skimming berlebihan sambil menikmati binar matanya.
Lantas saya berpikir semua selesai, kami baik-baik saja. Sampai hari ini, ketika Ayyash melempar pertanyaan di atas.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Non-Fiction#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...