Lukisan ini simple aja, tapi ada banyak achievements di dalamnya.
Kemandirian.
Ayyash memulai prosesnya hari Jum'at, tanggal 6 April. Waktu emaknya masih agak limbung dan mulai mencicil kerjaan rumah yang terbengkalai seminggu lamanya, hingga tak bisa menemani. Dia ngoprek sendirian di dapur, menggeledah tempat kami biasa menyimpan kardus."Mau bikin apa, Bang?" tanya Makyas.
"Ada deh."Nggak minta bantuan, nggak minta temani. Dia menyobek kecil2 kardus bekas, merendamnya dengan air sampai lembut, lalu menghancurkannya sendiri. Capek meremas kardus lembek, dia keluarkan gilingan cabai punya Makyas dan menumbuk kardusnya.
"Kok pake kardus, Yash? Kan kertas HVS bekas ada tuh, atau buku tulis bekas?"
"Biar cokelat."
"Keras tuh. Lama numbuknya."
"Nggak papa." Dia berhenti menumbuk beberapa kali, membiarkan si kardus lebih benyek lagi sampai malam hari.Inisiatif.
Makyas akhirnya tahu, bahwa anaknya sudah punya konsep waktu Ayyash minta tolong memotong kardus untuk dasar prakaryanya."Yang lurus ya Nda. Yang rapi."
"Mau bikin apa sih, Baaang? Eyke pinisirin, deh," Makyas sok imut. Anaknya cuek aja. Udah kebal.
"Bikin gunung. Sama laut."Sesudah itu Ayyash menceritakan secara detail bagaimana gunung yang dia inginkan. Dimana pulaunya, apa warna pasirnya, apa warna lautnya. Makyas menggambarkan sketsanya, supaya bisa ditiru di kardus. Ini kemajuan menurut Makyas. Karena biasanya Ayyash hanya punya konsep mentah, lalu mereka bakal diskusi sama-sama untuk detailnya. Beberapa kali juga Makyas yang melontarkan ide, terus anaknya ikut mengembangkan. Sekali ini dia punya konsep sendiri, dari mentahnya (bahannya, bentuknya), sampai detailnya.
"Bubur kertas jadi gunungnya. Jadi pulau. Lautnya pake cat. Tapi gimana ini, nggak nempel?"
"Boleh saran? Kita peras lagi buburnya, terus dicampur lem fox." Dan dia mengatur sendiri bentuk pegunungan yang dia inginkan.Kesabaran.
Bubur kertas itu, yang sudah menempel di kardus tu, harusnya kering hanya dalam setengah hari. Kalau cuaca panas. Rupanya Kampar sendu sepanjang Sabtu, membuat Ayyash pontang panting mencari 'hot spot' untuk maketnya. Ditaruh di halaman, nggak lama hujan. Dipindah ke dapur, diendus Puput. Ah, di tempat jemuran, pakai kursi. Teteup, nggak kering sampai malam hari. Bahkan sampai besok siangnya lagi karena Minggu pun Kampar masih kuyu. Biasanya kalo dapat masalah gini Ayyash mutung. Ambegan. Terus proyeknya ditinggal, mangkrak. Kali ini dengan sabar dia menunggu. Emaknya yang malah bolak-balik ngecek si maket, sementara Ayyash santai menggerataki isi kulkas. Nggak mengeluh, nggak merengek. Sesudah beralih mengecat kakinya karena bosan, dia mulai mengecat bagian pasir dan lautnya. Gunung belakangan aja katanya, Senin aja kalo sudah kering.Kreativitas.
Saat mengecat, Makyas nggak dibolehin ikut campur. Megang tangannya aja pun kena delikan."Gini coba, biar rapi. Bunda bantu sikit, ya?"
"Tak. Ti-dak. Biar Ayyash."
"Ayunkan kuasnya satu arah nggak, Yash? Biar rapi?"
"Tak. Gini je la," dia malah menotol-notolkan kuasnya. Eh, pas dilihat dari dekat bagus juga. Kesannya jadi agak bergelombang gitu. Kalo dari jauh mah sama aja hehehe.."Dekat gunung ini nggak diwarnai?"
"Nggak. Itu tanah, bukan pasir. Cokelat, untuk jalan mobil."
"Gunungnya mau pakai hijau ini?"
"Nggak. Itu agak jelek, ini aja yang terang."Jadilah Makyas penonton setia. Anaknya punya keputusan sendiri atas karyanya. Ayyash bahkan menamai sendiri jenis warna yang dia pakai. Setelah selesai dengan santai dia letakkan lukisannya di atas meja.
"Nggak difoto, Nda?" Emaknya nyengir. "Kita gantung dulu, biar nggak rusak. Kalo ditaruh di meja gini ntar dicakarin Puput."
Lantas urusan foto, nyatat ke jurnal, dan posting ke medsos malah terlupakan sampai hari ini hihihi..
Tabarakallah, Ayyash. You did great!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Nonfiksi#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...