Gadis Kelas Empat SD

71 9 0
                                    

Seorang gadis berusia sepuluh tahun, kelas empat SD, sedang duduk di kursi makan di dapur saya. Mukanya lecek kayak dompet tanggung bulan.

"Padahal katanya dia suka aku, Tan. Masak dia jalan sama cewek lain. Kelas enam lagi," dia bersungut sambil mencomot sebiji bakwan.

"Hmm.. Trus?" Saya ikut mencomot bakwan juga.

"Itu namanya selingkuh, Tan!"

"Uhukk!!" Saya tersedak. Kelas empat udah ngerti selingkuh. Lha dulu saya kelas empat ngertinya main bongkar pasang.
"Trus aku gimana, Tan?" Dia menelan bakwannya yang ketiga. Heh, aku aja baru nyomot satu!

Pengalaman saya soal pacar-pacaran nol besar. Nggak pernah sih, soalnya. Waktu (akhirnya) ada cowok yang tertarik, kami nggak pacaran. Dia ngelamar, trus kami nikah deh. Jadi heran juga kalo saya sering dijadikan tempat curhat soal ginian. Dari zaman SMP, sampe sekarang udah emak-emak.

"Menurut kamu gimana?"

"Yaa.. Lupain aja kali ya, Tan. Cowok masih banyak juga," wah, nggak gitu juga lah say.

"Lupain, trus kamu fokus belajar. Itu lebih bener menurut Tante," Bu Elly Risman.. Heeeelp meee..

"Ah, Tante mah sama aja. Gitu-gitu aja nasehatnya," dia mengambil bakwan terakhir dari piring. Saya menghela nafas, lalu membuat adonan baru.

"Tante kasihan aja sama papa kamu, neng."

"Karena udah bayar sekolahku mahal-mahal trus aku pacaran?" Nah itu tau!

"Kasihan ngebayangin papa kamu disuruh tanggung jawab sama perbuatanmu di akhirat," saya menggoreng bakwan lagi. "Gini deh. Kamu kan belum baligh, ya. Belum kena pertanggungjawaban untuk maksiat dan kesalahanmu. Lha trus siapa yang tanggung? Papa mama, lho. Emang tega, papa dicemplungin ke neraka gara-gara kamu pacaran?"

"Apa lah Tante niii.." Dia cemberut. "Aku kan nggak dipegang sembarangan."

Wah, bahasan ini panjang. Butuh dua piring bakwan lagi. Intinya kami agak berdebat. Karena Dia belajar di sekolah yang cukup ketat soal agama, seharusnya sih dia sudah tahu lah pacaran itu boleh apa nggak. Cuma darah muda n gengsinya aja nih yang menghalangi.

"Ya lah ya lah.. Nanti aku belajar aja. Nggak mikir cowok lagi." Cemberutnya naik lima level.

"Good. Lagian kelas empat udah cowok yang dipikirin. Sampai galau pula. Masih kecil, say. Buang waktu itu, mah. Banyak hal lain yang lebih asyik dari sekedar pacaran."

"Anak kelas satu aja udah ngerti kok Tan," hah?

"Makanya, Tante gaul. Apalagi si adek tuh udah lima tahun. Nanti sekolah dia kan Tan, terus kalo dia niru temannya yang pacaran, kapok Tante."

Saya terdiam. Berasa dinasehati banget. Kalimat senada sudah sering saya dengar dari majalah, bahasan group parenting, para ahli masalah pendidikan, tapi begitu keluar dari mulut anak ini rasanya lebih 'ditonjok'. Bahwa kita jangan terlena dengan usia anak yang kita anggap masih kecil. Ah, masih lima tahun. Ah, masih kelas satu SD. Nanti lah nyiapin mentalnya. Nanti lah ngomongin soal aurat, mahrom dan non mahrom, hal yang boleh dan tidak berkaitan dengan dua hal itu... Tahu-tahu sikecil sudah baligh. Eh, rupanya udah dapet banyak info 'terlarang' dari luar, bukan dari kita. Huhuhu..

Kata pak Adriano Rusfi, seringnya kita getol memberi gizi fisik anak-anak kita tapi lupa menyiapkan gizi mental dan jiwanya. Jadilah anak kita baligh tapi belum aqil. Saya meringis, mengingat betapa besar tanggung jawab di depan mata. Sungguh pengasuhan itu bukan hal mudah. Bukan soal ngasih makan dan mainan sama milihin sekolah doang. Aduh.. Betapa ilmu saya masih kurang sekali. Pe er saya masih bejibun, sementara waktu berlari mengejar sambil menggandeng usia anak saya.

"Ini, bawa pulang buat mama, ya," saya mengangsurkan sepiring bakwan lagi pada si gadis kelas empat. Dia nyengir lebar, "Makasih ya, Tan!"

Sama-sama, say. Apa yang saya kasih ke kamu nggak ada apa-apanya sama apa yang sudah kamu bawa ke rumah saya hari ini. Sekarang saya bersiap. Belajar dan berdo'a lagi yang banyak. Agar prakteknya ke anak saya berlangsung baik.

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang