Pucil

20 3 0
                                    

Subuh kedua Ramadhan, Ayyash pulang sambil menenteng (beneran menenteng inih) seekor kucing kecil. Benar-benar kecil, dalam artian kurus, dekil, dan bulu yang tuipiiissss sekalih. Makyas melongo di depan pintu, sementara anaknya pasang wajah innocent.

"Nda, ini dari pinggir jalan. Mau dipelihari."

"Dipelihara?"

"Iya. Dipelihara."

"Itu tadi nemu waktu pulang sholat, ada dua sebenarnya, tapi yang satu lagi jauh banget," Abyas nyeletuk.

Jadilah si kecil itu teman baru Ayyash. Setelah mendapat penolakan sengit dari Mbu sebagai kucing senior di rumah kami. Makyas heran, kenapa sih si kecil ini yang diadopsi Ayyash? Padahal di rumah Opung ada dua anggora dan dua peranakan persia yang adoptable. Apa istimewanya si mungil ini, kecuali mukanya yang menyedihkan, atau kenyataan bahwa dia anak terlantar. Di rumah Opung juga ada anak kucing terlantar.

"Dia mirip sama Puput." Jawabannya didapat Makyas besoknya, sesudah memberi si kecil itu vitamin dan wet food dicampur nasi.

Oh, info tambahan. Puput adalah nama kucing kesayangannya yang meninggal tanggal 27 April lalu.

"Ooh gitu. Karena itu Ayyash suka?"
"Iya."

"Ayyash masih sering inget Puput, ya?"

"Iya."

"Ayyash kangen?"

"Iya. Suka ingat gitu sama Puput. Kalo main masih kebayang. Eum, Ayyash sayang sama Puput."

Ada rasa kasihan yang menetes ke dalam hati Makyas waktu mendengar tutur anaknya. Memang waktu Puput pergi, Ayyash bisa mengendalikan ekspresi sedihnya. Menangis sedikit iya, tapi nggak sampai termehek-mehek. Dia cuma menolak melihat penguburannya dan memilih masuk kamar. Esoknya, waktu baru bangun juga yang keluar dari mulutnya adalah "Puput! Ayo main!" Lalu tersadar bahwa Puput sudah nggak ada. Justru Makyas yang cengeng, nangis sesenggukan sejak Puput sakaratul maut sampai dikuburkan.

"Udah Bunda, Ayyash aja nggak papa. Siapa tahu nanti kita bisa ketemu Puput di Surga," ujarnya waktu itu. Makyas masih mewek.

"Udah Bunda. Udah takdir itu." Makyas makin sesenggukan.

Waktu itu Makyas mikir, Masyaallaah anak ini. Sudah pasti dia sedih. Sedih banget malah. Puput dan Ayyash itu nyaris nggak terpisahkan. Sama-sama anak tunggal, soulmate deh. Kalau kami agak lama pergi, Ayyash biasanya bilang, "Kasihan Puput nanti kangen. Eum, Ayyash kangen juga," supaya kami segera pulang. Jadi wajar kalau dia agak terluka waktu Puput pergi. Tapi dengan terampil dia mengendalikan sedihnya. Di kamar, waktu Puput dikuburkan Makyas tahu Ayyash nangis. Wajahnya dibenamkan ke bantal dan bahunya gemetar. Tapi begitu saja, nggak mewek, nggak kayak emaknya. Apa memang begitu ya, anak laki-laki mengekspresikan rasa sedih?

Ayyash mengatasi hari-hari pertama kehilangan Puput dengan banyak bercerita tentang kucingnya itu. Semua yang lucu, yang indah, yang menyenangkan yang dia bisa ingat. Dia melihat kembali foto dan video mereka, juga tidak menolak melihat foto terakhir Puput saat sudah tidak bernyawa.

"Waktu sudah meninggal pun dia cantik. Kayak boneka," ujarnya.

Diingatnya yang baik dari Puput dan dimakluminya kelakuan si kucing yang suka nakal mencomot lauk makan dari piring Ayyash waktu tuannya itu lagi lengah.
"Namanya juga kucing kan, Nda?" Dia sebenarnya juga nggak mau memori kehilangan Puput ditulis. "Ayyash nggak mau ingat. Ayyash mau lupain aja."

Dia menaruh batu lepes yang lebar di atas kuburan Puput.

"Ini nisan," katanya.

"Kenapa yang lepes, Nak?" tanya Makyas.

"Supaya Abi nggak kesandung waktu lewat." Karena halaman yang kecil, kuburan Puput memang dekat banget dengan jalan keluar masuk motor Abyas.

Kembali pada kucing kecil tadi. Sekarang, sesudah hampir sebulan Puput pergi, sudah ada Pucil--Puput Kecil. Ayyash yang ngasih nama begitu. Sedih Ayyash mulai berkurang, nggak lagi kecarian Puput setiap bangun tidur atau saat baru pulang ke rumah. Sudah ada yang bisa diberinya makan, diajak main, dan dirawat.

"Ini pengganti Puput," ujarnya. Sesudah dua hari Pucil ada di rumah. "Jadi Puput kedua."

Makyas sebenarnya berpendapat bahwa nggak ada yang bisa benar-benar menggantikan sesuatu (atau seseorang) yang sudah tiada. Karena memang nggak ada yang benar-benar sama. Mirip iya, sama nggak. Tapi Makyas diam saja, mencoba memahami Ayyash yang sedang meninggalkan kesedihannya. Toh pendapat Ayyash juga nggak salah.

Tabarakallah ya Ayyash. Satu peristiwa kehilangan sudah kamu alami dan kamu lewati dengan baik. Pengendalian diri yang baik waktu merasa sedih dan kehilangan. Pelan-pelan kita belajar mengendalikan emosi negatif lainnya, sesuai usia kamu. Iya, nggak salah denger kok. Kita belajar sama-sama. Kamu dan Bunda.

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang