Si Dia

33 4 0
                                    

Part ini khusus untuk Abyas

***

Si Dia mungkin jaraaaang banget memuji. Kita udah pake lipen terbaru yang warna merahnya nge-hitz, eh malah ditanya, "bibirnya kenapa, Dek? Digigit semut?" Kita dandan cakep dan tampil lenggak-lenggok di depannya--khusus untuk dia--eh reaksinya mah lempeng, lurus kayak penggaris butterfly. Datar kayak kayu baru diamplas, "lagi ngapain?"

Etapi dia nggak pernah lupa ngingetin sholat dhuha. Sabar banget bangunin tahajjud. Kalau kita lagi tilawah, kecupan manis selalu mampir di ubun-ubun, "Masyaallah, solehah istri Abang." Ah, those little sweet things, make us melted. Literally.

Dia mungkin nggak pernah ngasih hadiah wah. Nggak pernah nawarin plesiran ke Lombok atau honeymoon kedua ke Maldives. Elah, niat ke Bukittinggi aja nggak nyampe-nyampe. Istri lain dapet berlian tiap anniversary, kita dapet berlian cuma sekali, saat akad. Ukurannya mikroskopis.

Etapi, dia selalu membawa oleh-oleh sepulang kerja, atau setelah dinas luar kota. Biar kata hanya seplastik bakwan dan tahu pedas, tapi bahagia yang ikut serta terasa warbiassah. Walaupun cuma kaos yang harganya noban dan dibeli di pinggir jalan, tapi kaos itu yang jadi favorit kita dan anak-anak. Saat liburan pasti ngajak jalan, biarpun cuma ke CFD atau kebun binatang. Ah, those little sweet things, makes us fall into him. Over and over again.

Dia itu nggak bisa diharapkan membantu kerjaan dapur. Bikin mi instan aja berantakannya merontokkan jantung. Nyuci baju, malah digabungin lap kompor sama gaun. Gendong baby tegang banget, sambil ngucap mantra "jangan gerak naak, jangan gerak naak," dan si baby malah jadi bergerak-gerak, was-was bin gelisah.

Etapi dia sigap sekali benerin antena TV. Menambal yang bocor-bocor. Rela sakit pinggang demi si tengah yang pengen main sapi-sapian. Atau berpeluh dan bau asem bareng si sulung, nyari katak dan belalang untuk tugas IPA di sekolah. Ah, those little sweet things, make him a true hero in our family.

Wajahnya cemberut kalo kita minta temenin belanja. Baru lima belas menit udah nanya, "Udah selesai? Kapan kita pulang?" Lengannya sigap menggenggam jemari kita di mall, demi keamanan isi dompet dan keseimbangan anggaran.

Tapi telinganya selalu bersedia mendengar kicauan kita. Bibirnya dia tutup rapat saat kita curcol, karena tahu yang kita butuh bukan komentar. Bahunya selalu siap menyangga kepala manja kita, juga kepala si kecil yang mulai mengantuk. Dadanya cukup luas menampung air mata curhat kita, atau air mata anak-anak kita sehabis berantem. Ah, those little sweet things. Make us warm and cozy.

Hal-hal kecil yang dilakukannya sering kali terbenam dalam pusaran kelemahannya. Kelebihannya mungkin tak sebanding dengan kehebatan suami tetangga. Tapi dia sudah rela menanggung dunia dan akhirat kita. Tanggung jawab besar yang diambilnya dengan ikatan yang kokoh. Disaksikan malaikat. Disahkan agama dan negara. Hal-hal sepele yang membuktikan cintanya pada kita, nyaris tak tertangkap mata karena lamanya kebersamaan kita dengannya. Ah, sudah biasa itu mah. Hari-hari juga begitu. Hal biasa yang bisa jadi bagi orang lain luar biasa, dinantikan, diimpikan.

Dia laki-laki biasa, dengan cinta biasa, penampilan biasa. Tapi tanggung jawab yang dipikulnya luar biasa. Adalah kita yang harus menguatkan bahu dan hatinya, menjaga jiwanya, membantu semangatnya. Bersyukur atas hadirnya--paket lengkap dengan segala lebih dan kurangnya. Menyamakan langkah dengannya dan menjadi pengalih pandangannya, navigator agar dia nggak salah jalur. Karena hari-hari bersamanya terus memendek, berkurang, satu-satu, satu-satu, hingga habis tak bersisa.

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang