Belajar Bereaksi

57 5 0
                                    

Pagi-pagi rumah Saya sudah semerbak, bau pesing. Kayaknya ada kucing jantan liar yang menandai teritorialnya disini. Sesudah ngepel seluruh bagian rumah, saya pergi sebentar. Pulang-pulang mendapati kamar dan ruang tamu bertabur kelopak mawar. Romantis, tapi bikin sesek. Oh my.. Mawar-mawarku yang baru bermekaran.. Hix.. Hix.. Saya menoleh pada anak yang kegirangan, “confetti, Bunda! Lihat! Ayyash buat confetti. Jadi bagus kan rumahnya. Nggak bau lagi!” oh.. Gitu. Memang tadi masih agak bau walau sudah dipel. Sekarang jadi harum mawar deh. Nggak papa, mawar-mawar  akan mekar lagi lain hari.

*#*#*

Selesai sholat isya ada pemandangan aneh. Selimut saya--yang paling tebal--teronggok di atas lantai, basah dan mengenaskan. Mata saya menangkap ceceran susu dan sereal di lantai. Ayyash berjengit menatap saya. “Maaf, Bunda. Tadi sereal nya tertendang. Ayyash mau pel tapi itu (menunjuk pintu ke arah dapur) nggak bisa dibuka (jadi Ayyash nggak bisa ambil kain pel). Jadi Ayyash pake itu (menunjuk selimut).” Hfffttt.. Tharik nhaffaasshhh… Hembhuskhaaann.. Whooossaaahhh… Lalu saya senyum. Nggak apa-apa, yang penting Ayyash udah usaha.

#*#*

Karena saya tak bisa menentukan aksi tapi bisa mengendalikan reaksi, jadi sebaiknya saya menahan diri. Jangan buru-buru menanggapi. Berkomentar, berteriak atau menyalahkan sebelum Ayyash menjelaskan dengan rinci. Siapa tahu satu istighfar yang diucap sambil histeris malah membuatnya kaget setengah mati. Jadi takut berbuat salah karena merasa dimarahi. Ujung-ujungnya malah saya rempong sendiri, anak saya takut berterus terang dan lebih memilih menyembunyikan fakta yang terjadi.

Bukan berarti Ayyash nggak boleh dinasehati. Tentu saja boleh, apalagi kalau dia memang bersalah. Bukan juga nggak diberi konsekwensi. Tetap diberi, nggak masalah. Paling nggak dia bertanggung jawab, itu sudah bagus, lah :D tugas emaknya adalah mengendalikan amarah. Ngomong singkat dan jelas aja, nggak perlu pake ceramah. Ntar aja diskusinya, Kalo dia sudah nggak lelah.

Aah.. Tapi menahan diri itu susyeh, sodara-sodara (Makyas bikin pengakuan) . Lebih sering ekspresi spontan yang dikeluarkan. Kudu rajin puasa, sekalian melatih kesabaran ^o^. Melatih lisan supaya nggak keceplosan. Membuang sampah emosi biar nggak membusuk dalam pikiran. Menjaga ekspresi supaya nggak menyeramkan. Lha ini, tantangan buat saya. Secara ini wajah udah bawaan. Muka perang kata suami saya >_<.

Aah.. jadi malu saya. Bener kata guru ngaji saya dulu, jadi ortu itu pembelajaran tanpa jeda. Banyak hal yang harus diperbaiki, banyak hal yang harus dikuatkan. Jadi ortu nggak segampang membersihkan pantat wajan. Perlu ilmu mumpuni, multicabang. Gimana anaknya mau bener kalo emak bapaknya masih belum bener juga? Yang ada malah kliyengan, trus nyesel deh belakangan, huhuhu..

Jadi di rumah kami, semua belajar. Ayyash belajar, Makyas dan Abyas  juga. Kenapa baru sekarang? Kenapa belajarnya baru sesudah punya anak? Karena kami nggak pernah ikut sekolah khusus buat jadi orang tua sebelum beneran jadi orang tua. Tapi jelas kami takut nggak siap kalo di akhirat nanti ditanya, “kalian apakan amanah yang Aku beri? Sudahkah kalian didik dengan baik? Sudahkah kalian cintai dengan tulus? Sudahkah kalian kenalkan dia padaKu? “

Makanya yang single, yang belum dikasih amanah, ayo belajar segera. Nggak perlu ditunda-tunda.

#status_inspirasi
#rumbelmenulis_iip_pekanbaru
#myhousemyschool

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang