By: Ust. Harry Santosa
Source: vitryadyani.wordpress.com“Baby born as a Scientist” begitu menurut pakar prof. Gopnick yang selama puluhan tahun bergelut dengan dunia anak. Dia melihat anak punya kecakapan setara seorang filsuf dan berfikir ilmiah layaknya seorang pakar sains.
Dalam sebuah riset, seorang anak 3 tahun diberi tantangan untuk menduga mengapa sebuah kotak dengan cara menumpuk tertentu bisa mengeluarkan cahaya lampu dan mengapa dengan cara yang sama kotak lain tidak mengeluarkan cahaya sama sekali. Dalam hitungan tidak sampai 3 menit, anak usia 3 tahun sudah dapat mengeluarkan banyak hipotesis.
Dalam riset lain, Sugatra Mitra seorang pakar IT, mendapatkan anak anak desa di india, yang tidak sekolah, mampu “self learning” dan mendapat nilai ekselen setara dengan sekolah terbaik dengan guru terbaik di New Delhi, padahal hanya ditinggalkan 8 bulan bersama komputer yang telah dipasangkan pelajaran “DNA Exchange” dan didampingi seorang gadis perempuan yang memberi semangat di belakang mereka.
Wow, inilah kehebatan fitrah belajar dan bernalar yang Allah SWT telah instal kepada makhluk yang ingin dijadikan Khalifatullah fil Ardh. Perhatikanlah bahwa setiap anak sejak lahir adalah pembelajar sejati, tidak ada anak yang memutuskan merangkak sepanjang hidupnya ketika berkali kali jatuh saat belajar berdiri dan berjalan.
Begitulah Allah telah membekalkan manusia agar mampu memikul tanggungjawabnya untuk merawat dan memakmurkan bumi. Dalam Islam manusia memang dilahirkan “bodoh atau tanpa pengetahuan”, tetapi Allah telah menginstal dalam jiwa mereka keimanan, akhlak dasar yang dapat membedakan perlakuan baik dan buruk, kemampuan dasar interaksi sosial, sifat sifat unik, pola makan dan tidur, seksualitas sebagai lelaki dan perempuan dll yang semuanya itu bukan wilayah pengetahuan yang diajarkan, tetapi terinstal dalam jiwanya. Itulah fitrah.
Jangan salah paham, Fitrah bukan tipe kecerdasan, tetapi potensi potensi dasar manusia untuk dirawat, dikuatkan, disadarkan, dikembangkan dan dikokohkan sehingga kelak menjadi peran peradaban dalam segala bidang dasar kehidupan, baik personal maupun komunal.
Khusus untuk fitrah belajar dan bernalar, jika tumbuh paripurna maka kelak peran peradaban yang diharapkan adalah peran innovator yang menebar rahmat bagi alam semesta.
Lalu mengapa sepanjang masa kita menjalani masa persekolahan, fitrah belajar dan bernalar ini seolah redup. Bahkan banyak diantara kita alergi dengan kata “belajar” apalagi “bernalar”. Persekolahan formal dianggap oleh banyak bakar sebagai “penyebab” anak membenci proses belajar dan bernalar.
Belajar seolah menjadi waktu “pengisian konten pengetahuan” yang mengerikan, daaan bel pistirahat, bel ulang serta liburan adalah masa paling membahagiakan. Bagi kita kebanyakan, belajar dan bernalar di sekolah sebenarnya adalah pacuan yang tak kemana mana (race to no where). Lihatlah berapa banyak sarjana yang skripsi dan tesisnya adalah karya satu satunya dan terakhir sepanjang hidupnya?
Ya kita sesungguhnya bukan sedang belajar tetapi menjalani “ilusi belajar”. Seolah orang sibuk “belajar” namun pada kenyataannya hanya sekedar memenuhi syarat kelulusan ujian dan berlomba masuk sekolah favorit atau bekerja di tempat yang mapan.
Bekal fitrah belajar dan bernalar yang seharusnya ditujukan untuk mencapai peran inovasi untuk melestarikan dan memakmurkan bumi, berubah menjadi perlombaan atau pacuan orang buta. Berapa banyak orang yang menghafal rumus rumus namun tak mampu melahirkan karya inovatif. Berapa banyak orang menghafal aQuran namun tak memiliki gairah untuk Tadabur dan Inovasi yang melahirkan karya genuine.
Lalu bagaimana mendidik Fitrah Belajar dan Bernalar?
Mendidik fitrah belajar dan bernalar harus berangkat dari keyakinan bahwa semua anak suka dan bergairah belajar. Karenanya tidak tergiur untuk “too much teaching” atau “over stimulus” apalagi drilling dan menerapkan “reward & punishment”.
Kita sesungguhnya hanya perlu menyemangati, mendorong gairah dan antusiasnya untuk “ikhlash belajar dan bernalar” melahirkan inovasi baru yang ramah bumi di setiap kesempatan dengan membimbingnya memunculkan banyak idea menantang atau menginspirasi agar ananda melahirkan gagasan hebat.
Usia 0-6 tahun – merawat dan menguatkan konsep belajar melalui imaji dan abstraksi serunya belajar dan bernalar.
Di tahap ini imaji dan abstraksi anak sedang pada puncaknya, sementara aspek koginitifnya belum berkembang. Karenananya belajar dan beenalar di masa ini bukanlah dengan mengenalkan symbol dan cara belajar formal kaku. Maka bermain di masa ini adalah proses belajar yang disukai anak.
Permainannya pun bukan permainan kognitif namun permainan imajinatif, misalnya bermain peran “kuda kudaan”, “”dokter dokteran” dstnya. Permainannya harus “open ended” artinya tidak kaku dan dinamis. Jangan abaikan bermain atau berkegiatan di masa anak, inilah proses belajar dan bernalar terbaik untuk membentuk sikap.
Rasulullah SAW ketika usia 0-6 tahun berada di Bani Sa’diyah, setidaknya ada 7 hal terkait fitrah belajar dan bernalar ini yang Beliau dapatkan1. Belajar Bersama Alam (BBA), Lingkungan alam pedesaan yang nyaman untuk belajar dan bergerak serta untuk menguatkan senso motoriknya (muscle memory)
2. Bahasa IBU (mother tongue) yang fasih dan sempurna
3. Belajar bersama orangtuanya untuk membangun kelekatan (attachment)
4. Belajar Kisah Kisah Kepahlawanan bersastra baik dan Kearifan lokal
5. Belajar Kepemimpinan (Executive Functioning) dengan memelihara hewan
6. Belajar Mendaki Bukit untuk membentuk sikap dan fisiknya
7. Belajar Mengenal dan Mencintai Allah melalui ciptaanNya
Usia 7-10 tahun
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
Non-Fiction#40-parenting on 26/6/2019 #18-parenthood on 29/7/2019 (Patut disyukuri untuk newbie seperti aku. Alhamdulillah..) Karena menjadi orang tua berarti petualangan, pembelajaran, pengalaman tanpa henti. Proses panjang, seumur hidup. Apa yang kutulis dis...