Seorang cowok bertubuh jangkung dengan seragam putih hitam lengkap, nampak tersenyum ramah seperti biasanya. Rian. Sudah pembawaan pria tampan satu ini selalu mengumbar senyuman dan kepribadiannya yang hangat kepada siapa saja.
"Belum pulang Ze?"tanya Rian sedikit heran karena biasanya gadis cantik satu ini selalu ingin cepat-cepat pulang. Dan Rian tahu itu. Terkadang, ia keluar gerbang hanya untuk memastikan apa gadis bule ini sudah pulang atau belum.
Zena tersenyum kecut. "Belum, sih."
Pandangan Rian kini beralih ke roda belakang mobil milik sang Ratu sekolah.
"Ban kamu kenapa? kok kempes?"sorot Rian segera mendekati ke arah kendaraan itu terdiam.
"Gue juga gak tahu kenapa bisa kempes begitu,"dengus Zena sebal.
"Terus kamu pulang naik apa?"tutur Rian menatap Zena.
"Gue belum tahu,"cetusnya menatap Rian sekilas lalu beralih ke kendaraannya.
"Kalo gitu gimana kalo kamu aku anterin pulang aja?"tawar Rian yang sudah bertengker nyaman di atas motor Honda Supra X 125 SW-nya.
Tatapan Zena langsung teralih ke kendaraan roda dua milik pria tinggi itu. Ada rasa enggan yang mencegahnya agar tak usah pergi dengan lelaki itu. Bukan karena, takut ada yang cemburu namun lebih tepat karena Zena ngeri untuk naik benda norak itu.
"Gimana Ze?"tanya Rian membuyarkan lamunannya.
"Gak usah deh Rian. Gue nelpon tukang tambal ban aja,"elak Zena mencoba tersenyum kecut.
"Kenapa? takut cowok tadi marah ya?"ujar Rian sontak mengundang tatapan Zena tersorot padanya.
"Hah?"
"Aku penasaran deh. Cowok tadi pacar kamu ya?"
"Bukan kok. Mana ada,"elak Zena sembari mengotak-atik ponselnya kembali.
"Tapi kok dia ngelarang-larang kamu sih Ze?"Rian ingin tahu.
Zena terdiam sejenak. Aktivitasnya langsung terhenti. Duh, gue gimana ya bilangnya? kalo gue bilang gue babunya dia, nanti gue diremehin dong. Batin Zena.
"Helo, Ze? kamu baik-baik aja kan?"Rian melambai-lambaikan tangannya mencoba memudarkan khayalan gadis pirang itu.
"Hah?bukan siapa-siapa gue, kok,"tepis Zena mencoba mengalihkan.
Rian pun memilih tak melanjutkan topik itu. Mungkin karena ia menyadari ekspresi Zena yang sepertinya enggan untuk membahas lelaki itu.
"Gimana jadi dateng gak tukang tambal ban-nya?"tanya Rian menyorot benda persegi ditelapak Zena.
"Gak diangkat telponnya."Zena terlihat sebal.
"Ya udah, kalo gitu kamu bareng aku aja. Tenang bakal aku anterin sampe rumah, kok,"bujuknya tersenyum.
"Duh, gimana ya?"Zena nampak bimbang.
Tiba-tiba kilatan menghiasi cakrawala lengkap dengan gemuruhnya. Jika Rian terlihat sedang mengangkat wajahnya menatap awan mendung yang kini bersemayam di atasnya, Zena justru sibuk membekap kedua kupingnya, ketakutan.
"Kayaknya udah mau hujan deras, nih. Ayo, aku anterin,"ngotot Rian.
Sejenak Zena menatap Rian masih membekap kedua telinganya. Namun, bukan pertanda bahwa dia segera setuju dengan ajakan ketua osis itu, melainkan pertimbangan berat yang kini terpatri dikepalanya. Lagi-lagi pandangannya terarah ke motor Rian. Gue naik gak ya? oh my God. Mana bisa gue naik motor itu? apalagi bareng... Zena menatap Rian sedikit ngeri. Cowok rada culun ini. Oh no! Sepertinya reputasi gue bakal turun, nih. Batin Zena mendengus pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sultan Sekolah [COMPLETED]√
Teen Fiction[Proses Revisi] Info! Cerita ini mengandung unsur pembangkit emosi seperti marah-marah, sedih, terharu, takut dan Baper-baperan pastinya. Diharapkan yang punya ketahanan hati saja yang membacanya. Karena Novel ini memiliki campuran genre antara Roma...