Mobil Zena meluncur dengan kecepatan diatas standar. Hatinya diliputi resah dan gelisah. Ia sudah mencoba beberapa kali menghubungi nomor asing itu, namun tak bisa disambungkan. Karena tidak aktif. Kendaraannya kini dibawa melaju menuju arah rumahnya. Kali ini perasaannya memang tidak enak. Bagaimana bisa telepon rumah tak ada yang mengangkat? apakah semua pembantunya tidur? Zena menerka-nerka.
DRRTDRRRT
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Satu nama tertera di layarnya. Zena menghembus lekas lalu segera menyambutnya.
"Halo Arga?"sapa Zena menyelipkan Mic kecil khusus telepon di sebelah kupingnya.
"Lo dimana? kenapa nggak nungguin gue?"oceh Arga diseberang sana rada sebal.
"Maaf, Arga. Gue pulang duluan"ucap Zena.
"Ya, udah. Hati-hati dijalan"Arga menutup sambungannya.
Zena memejamkan matanya sejenak. Pasti Arga cemas kalau dia memberitahukan hal ini. Untuk itu, Zena mencoba tidak mengatakannya kepada kekasihnya itu. Sebentar lagi kompetisi basket antar sekolah. Dan Arga harus semangat latihan. Untuk itulah, Zena tidak ingin membuat pacarnya itu khawatir dan terbeban.
Zena berusaha ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan berharap semuanya segera berakhir.
Kendaraan Zena kini terhenti tepat didepan teras. Dengan segera, ia turun dari dalam sana, lalu mempercepat langkah kakinya menapaki kediamannya. Zena mencoba membunyikan bel, namun tak ada yang membukakan pintu untuknya. Perasaannya kembali diliputi rasa cemas. Diraihnya gagang pintu kemudian mencoba mendorongnya. Dan, anehnya penghalang itu tak dikunci.
Zena segera masuk lalu menyalakan lampu ruangan. Ia mencoba memanggil semua pembantunya namun tak ada yang menyahut. Hening. Sepi. Seakan tak berpenghuni.
"Mang Tadi...!"panggil Zena mengecek ke ruang keluarga. Tak ada sahutan.
TUKK
Tiba-tiba satu boneka barbie sepanjang lengan berlumuran darah dibagian wajah dan gaun putihnya, jatuh tepat di hadapannya. Zena menjerit histeris sembari menengadahkan wajahnya ke lantai atas.
"Si-siapa disana?"tanya Zena gugup. Tubuhnya gemetaran. Lagi-lagi tak ada yang menyahut.
Zena merasakan jantungnya memompa kencang lengkap dengan getaran yang melanda tubuhnya. Siapa yang berani melakukan semua ini kepadanya? Zena kembali mempertanyakannya. Polisi, gue harus telpon polisi. Zena merogoh ponselnya dari saku seragamnya lalu mencari kontak kantor kepolisian.
Sementara Zena sibuk mencari nomor, tanpa disadari satu sosok serba hitam, dengan tudung kepala dan topeng tengkorak mengendap-endap mendekati Zena dari belakang dengan pemukul bisbol ditelapak tangannya.
Zena menempelkan ponselnya ke telinga. Entah kenapa, ia merasa ada seseorang dibelakangnya. Zena meneguk ludahnya paksa lalu mencoba menoleh perlahan. Dan...
BUKKK
Satu hantaman keras dibagian pundak berhasil membuat Zena tumbang tak sadarkan diri.
"Halo? halo? siapa disana?"sambungan Zena yang disambut.
Makhluk hitam itu segera meraih ponsel Zena lalu mematikan sambungan itu. Dengan gegas, rubuh Zena di seret lalu dibawa pergi.
****
Kepala Zena terkulai lemas ke kiri dan ke kanan. Matanya mulai membuka perlahan. Pandangannya memburam dengan denyutan nyeri dibagian pundak. Tangan dan kakinya serasa diikat sesuatu. Dan benar saja, ia sedang disandera oleh seseorang yang kini berdiri tidak jauh didepannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sultan Sekolah [COMPLETED]√
Teen Fiction[Proses Revisi] Info! Cerita ini mengandung unsur pembangkit emosi seperti marah-marah, sedih, terharu, takut dan Baper-baperan pastinya. Diharapkan yang punya ketahanan hati saja yang membacanya. Karena Novel ini memiliki campuran genre antara Roma...