KEHILANGAN IBU

313 17 6
                                    

"Aku tak bisa membayangkan bagaimana Aku harus hidup tanpa Ibu lagi. Tangan lembutmu, kasih sayangmu, di mana Aku bisa merasakannya lagi?"

                   >>•JENTERA•<<

Kini Zena, Tika dan Irwan berada di rumah sakit. Pengacara itu mendorong kursi roda Irwan hingga tiba di dalam ruang, tempat di mana Josine terbaring lemah dengan selang infusnya.

Nampak Zena masih mematung diluar ragu untuk masuk ke dalam. Entah kenapa, kedua kakinya terasa sangat berat untuk melangkah.

"Nona , ayo masuk"ujar Tika sudah mendekam di samping Ibunya.

"Zena ada di sini?"tanya Josine dengan suara lemahnya.

"Iya Nyonya, saya membawa mereka dari desa Nelayang. Selama ini Nona Zena dan  suami Nyonya tinggal dirumah bekas pembantu Nyonya"jelas Tika membuat Josine terkejut namun ia tak bisa bergerak banyak karena selang-selang yang mendekam di tubuhnya.

"Irwan,"desah Josine menoleh ke arah pria yang kini menatapnya sedih.

"Sebentar Nyonya, biar saya panggilkan Nona Zena"pamit Tika segera beranjak ke luar ruangan menghampiri Zena yang masih enggan untuk masuk ke dalam.

"Ayolah Zena, kamu harus masuk menemui Ibumu. Dia sangat merindukanmu"tutur Tika mencoba membujuk Zena.

Zena diam tak bergeming. Ia nampak sibuk dengan pikiran-pikirannya.

"Ibu kamu sekarat Zena. Saya mohon temui Ibumu kali ini saja"ujar Tika bersujud memohon.

Zena menatap Tika yang kini menengadah kepadanya.

"Ok"

Zena menarik napasnya dalam-dalam lalu perlahan melangkah memasuki ruangan. Dadanya berdebar-debar. Sesekali ia meremas kepalan jemarinya erat, mencoba mengusir ketegangan yang meresapinya.

"Zena, kemarilah. Mami ingin sekali bertemu denganmu"ucap Josine lirih.

Zena menatap Ibunya sejenak dengan pandangan seakan tak percaya. Tentu saja, kini Ibunya terlihat kurus, pucat dan  belum lagi ada beberapa selang yang terpasang dibagian lengan, hidung dan tubuhnya. Entah kenapa, Zena ingin sekali menangis melihat keadaan Ibunya yang menyedihkan.

"Maafkan Mami Zena. Mami sudah melakukan kesalahan besar. Maafkan Mami"sesal Josine meneteskan air mata.

Lagi-lagi Zena diam tak bergeming. Entah kenapa, suaranya seperti tercekat tak sanggup mengatakan apa-apa.

"Mungkin kamu tidak akan pernah bisa memaafkan Mami. Tapi mami ingin berkata jujur sekarang, Mami sangat mencintai Papanya Arga jauh sebelum Mami bertemu dengan Papimu. Selama ini mami berusaha membahagiakan kamu sayang"

"Meskipun mami sendiri tak bahagia. Tapi dengarlah sayang, Mami sangat mencintaimu. Mami tak pernah menyesal melahirkanmu ke dunia ini. Kamu adalah Putri terbaik yang pernah mami miliki. Mami sangat menyayangimu, sayang"ucap Josine tersenyum.

Butir-butiran bening yang sedari tadi ditahan Zena kini meluncur deras menggenangi kedua pipi mulusnya. Tubuhnya bergetar. Dengan langkah perlahan ia pun mendekati Ibunya.

"Maukah kamu memaafkan Mami?"tanya Josine menggenggam tangan putrinya.

Tangan Zena gemetaran, air matanya terus saja mengucur membasahi wajah cantiknya.

Zena mengangguk pelan"Zena udah maafin mami. Meski sebenarnya Zena sangat sulit untuk memaafkan Mami dan rasanya, ingin membenci mami selamanya"

Josine tersenyum kecil lalu mengusap air mata Zena lembut.

Sultan Sekolah [COMPLETED]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang