Hoshi - Workaholic [1]

12.6K 1.3K 103
                                    

Aku tengah bersantai di ruang tengah–membaca buku tentang seorang detektif yang tergila-gila pada simetri–ketika mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Kwon Soonyoung, sudah jelas. Hanya kami berdua yang tahu password-nya.

“Aku pulang,” katanya sambil melepas sepatu. Aku melirik sekilas–dia terlihat cukup berantakan mengenakan sweater biru pastel yang sudah lecek. Rambut hitamnya tampak baru saja disisir sembarangan menggunakan jari tangan. “Sayang, kamu ... di rumah kan?"

Aku mengangkat buku yang tengah kubaca, memberi petunjuk pada Soonyoung di mana posisiku sekarang. Malas bicara, nanti kena marah lagi.

Nggak lama, Soonyoung melemparkan tubuhnya ke atas sofa, di sisi kananku. Dia menatapku sebentar sebelum mencuri sebuah ciuman yang kuabaikan.

"Aku yang salah," katanya pelan. Tangan kanannya mengambil bukuku perlahan. "Aku minta maaf."

"Nggak ada yang perlu dimaafin. Kembaliin bukunya, aku masih baca."

"Nggak mau. Kamu marah sama aku."

"Ya kamu layak dimarahin." Aku balas menatapnya. "Kamu pikir gimana rasanya dikatain bangsat sama orang yang kamu sayang?"

"Makanya aku minta maaf. Please jangan marah, apalagi diemin aku."

"Aku nggak marah. Udah, sini balikin bukunya. Sana mandi dulu. Bau."

"Aku mandi," katanya sambil meletakkan buku Agatha Christie di pangkuanku. "Habis itu kita ngobrol."

"Terserah."

Aku mengangkat lagi buku bacaanku, membiarkan Soonyoung pergi mandi, membersihkan diri. Dia terlihat super kacau dan berantakan.
_____

Ngobrol a la Soonyoung ... jangan bayangkan duduk santai berhadapan sambil menikmati makan siang. Ngobrol a la Soonyoung itu selalu di atas ranjang. Tidur. Berhadapan. Menatap satu sama lain dan ... mengobrol.

"Aku salah. Iya."

Aku memutar bola mata. Sudah berapa kali dia ngomong begitu? Memangnya kalau dia terus mengaku, sakit hatiku karena dibilang bangsat hilang begitu saja? Of course nggak. Hatiku masih sakit luar biasa.

"Kamu nggak harus bilang iya kalau memang nggak bisa."

"Aku usaha. Oke? Tapi ternyata nggak bisa."

"Fine. Case closed," kataku sambil melepaskan genggaman tangannya. "Aku mau tidur siang."

"Closed dari mana? Kamu masih kesel sama aku."

"Udah deh, diem. Aku males ngomong kalau lagi emosi. Diem aja. Nanti kalau udah puas tidurnya, aku ngomong lagi."

"Ya udah oke. Tapi sini, tidurnya sama aku. Aku peluk."

Aku nggak nolak, oke? Siapa juga yang mau melewatkan kesempatan tidur dalam pelukan Soonyoung? Meskipun kesal setengah mati, aku nggak bisa memungkiri kalau di dalam pelukannya adalah tempat paling nyaman untuk tidur.

Soonyoung menarikku merapat. Rasanya sampai nggak ada jarak di antara kami. Tangannya sibuk membelai rambutku, bibirnya sibuk mengecup kepalaku. Dia memang semanis ini—kalau pas ingat, sih.
_____

Aku terbangun karena merasakan sesuatu yang berat menindih perutku—kaki jenjang Soonyoung. Dia menjadikanku guling—yeah.

"Aku mau bangun," kataku pelan sembari menyentil jidatnya. "Minggir."

"Nggak," jawabnya. Pelukannya semakin kencang. Nyaris mustahil untukku berpindah posisi. "Kangen."

"Makanya jangan keasyikan kerja."

"Hmm?"

"Kamu nggak bolehin aku kerja tapi kamunya kerja terus. Aku kesepian di rumah," kataku pelan. "Aku tuh kadang—"

What the hell.

Aku nggak memprediksi hal ini akan terjadi: aku menangis. Kenapa juga aku menangis?! Tapi hatiku memang sedang nggak baik. Rasanya nggak enak, seperti sesuatu yang ganjil sedang terjadi di luar sana.

Soonyoung mengendurkan pelukannya dan memundurkan tubuhnya. Sekarang, matanya terbuka sempurna dan menatapku dalam-dalam.

Aku nggak bisa melanjutkan kalimatku karena aku memang sesedih itu. Tiba-tiba aku merasa ... sepi.

Apartemen ini nggak besar. Tapi tetap saja, semua terasa begitu besar, menyedihkan, dan kosong ketika kamu sendirian. Jam kerja normal Soonyoung adalah 10 jam dari pukul 8 pagi sampai 6 sore. Kalau dia mengikuti jam kerja normal setiap hari, kebagian 5 jam sehari dalam hidupnya pun aku sudah bersyukur.

Aku masih menangis. Semakin dipikirkan, rasanya semakin menyedihkan. Isi pesan singkat Soonyoung semalam tiba-tiba muncul lagi di kepalaku, menambah sakit. Apa aku memang sebangsat itu karena nggak mau memahami pekerjaannya?

"Kamu ... kenapa?" tanya Soonyoung sembari mengusap pipiku dengan jari-jari lentiknya. "Kamu nggak biasa nangis dan kamu nggak biasanya protes soal ini. Aku kira kamu udah paham sama semua  pertimbanganku sebelumnya."

"Aku tahu. Sorry," kataku sembari menjauhkan tangan Soonyoung dari pipiku.

Aku berguling cepat dan duduk di tepi tempat tidur, mengikat rambutku yang berantakan. Sepasang mata Soonyoung masih menatap punggungku, mengawasiku. Aku tahu. Aku memutuskan untuk nggak menoleh ke belakang dan berjalan lurus ke kamar mandi. Mencuci muka, sebelum menyiapkan makan malam.
_____

Soonyoung nggak mau cerita apa yang membuatnya begitu emosional semalam sampai kelepasan mengataiku bangsat. Aku sudah menunggu-nunggu hal itu sejak di ruang tengah, di atas tempat tidur sebelum aku ketiduran, sampai saat aku menangis beberapa menit lalu. Tapi, semua yang dia katakan cuma maaf. Hell, aku nggak butuh maaf.

Aku dalam mood yang buruk dan nggak ingin repot-repot mengacaukan dapurku malam ini. Jadi, aku memutuskan untuk membuat nasi goreng dengan bumbu instan sementara Soonyoung pergi mandi—lagi.

Iya, kukira dia pergi mandi—sampai sepasang tangan melingkar di perutku dan sebuah kecupan mendarat di belakang telingaku.

"Lepas," kataku pelan. "Aku lagi masak, nggak mau bakar dapur."

Bukan Soonyoung namanya kalau dia menuruti kata-kataku secepat itu.

"Aku lagi banyak pikiran," katanya berbisik di telingaku. "Itu kalau kamu mau tau kenapa aku sampai kelepasan kasar semalam."

Aku mengecilkan api kompor, meletakkan spatula, dan menoleh ke kanan—menatap Soonyoung, ingin mendengarkan.

"Jihoon belum tau soal ini." Soonyoung melompat ke atas kitchen bar, duduk di sebelah kompor dan balas menatapku lembut. "Ada masalah besar di kantor dan bener-bener bikin aku capek. Kamu adalah orang yang paling paham seberapa kurangnya aku kalau soal kontrol emosi."

"Soonyoung, aku nggak ngerti sebenernya kamu mau ngomong apa dan kenapa bisa Jihoon nggak tahu soal ini kalau memang masalah kantor."

Soonyoung menghela napas panjang sebelum mengulurkan tangan untuk benar-benar mematikan komporku. Setelahnya, dia melompat turun—memelukku terlampau erat sampai aku heran karena masih bisa bernapas normal.

"Aku kena skandal kencan sama idol rookie."

Ucapannya barusan, membuatku jauh lebih heran—bagaimana aku bisa tetap hidup setelah mendengarnya tepat di telinga kiriku?
_____

Ciaaaat—!! Harusnya update nanti malam, tapi karena aku mau nggarap NCT Imagine juga, jadi aku update sekarang.

QoTD: Kalian suka nyadar nggak sih, Hoshi tuh banyak ngelawak tapi kalau udah badmood atau kesel marahnya jadi serem?

Contoh: One Fine Day Japan, kalau masih inget, pas yang money game.

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang