"Sayang, lampunya udah hijau," kata Jeonghan sambil menepuk pundakku dengan lembut. "Kamu mikir apa dari tadi bengong terus? Hati-hati, kita bawa Sa-yii."
Aku buru-buru melepas tuas rem dan menginjak gas perlahan, melajukan mobil menuju tempat praktik Dokter Lee yang sudah cukup dekat. "Omong-omong, Han, karena kita nikah tanpa pacaran sebelumnya–menurutmu, kapan aku mulai bisa terima kamu?"
"Hm?" Jeonghan yang baru saja membenahi posisi duduk Cheonsa buru-buru menoleh mendengar pertanyaanku yang–mungkin–terdengar begitu mendadak. "Soal apa ini? Kenapa tiba-tiba?"
"Bukan apa-apa. Cuma tiba-tiba kepikiran karena ... ya, kamu tahu sendiri I have no plan to get married before that night. Pernikahan itu bahkan dirancang sama 'orang lain' berdasarkan dream wedding versinya. Jadi ... menurutmu kapan aku mulai bisa terima kamu–uhm–bahkan sampai ada Sa-yii di antara kita?"
"Bukannya itu seharusnya kamu tahu jawabannya? Kamu yang ngerasa."
Aku menggeleng. "Justru seharusnya kamu yang ngerasa. Aku mungkin bisa bilang dan nyebut satu waktu. Tapi kamu sebagai orang yang ... apa ya bahasanya? Aku kenain rasa? Kamu harusnya ngerasa kapan aku mulai ... beda?"
Jeonghan menyandarkan tubuh Cheonsa di dadanya. "Aku ngerasa aneh karena tiba-tiba kamu tanya begini tapi mungkin aku bakal jawab setelah Sa-yii lahir? Kamu masih benci banget sama aku selama hamil dia. Enggak mau dekat-dekat pakai alasan bawaan bayi segala."
"Mendekati benar, Han." Aku mengulas senyum. "Aku berubah karena Sa-yii. Aku nggak mau dia tumbuh sama orangtua yang enggak saling sayang. Jadi ... kalau misal tiba-tiba kamu ngerasa nggak sayang lagi sama aku–coba ingat dia ya."
"Kenapa ini? Bilang sama aku, jangan random gini aku nggak ngerti."
"Tadi Lila telepon kamu. Aku yang angkat karena kamu lagi mandi dan–"
"Lila itu yang punya perusahaan tempat aku kerja. Istrinya Seokmin. Enggak mungkin aku sama dia–"
"Bukan," potongku cepat–masih menolak untuk menatap Jeonghan dan memerhatikan jalanan di depan. Beberapa belokan lagi dan tempat praktik Dokter Lee harusnya sudah terlihat. "Aku nggak bilang kamu ada apa-apa sama Lila. Tadi Lila telepon kamu dan bilang kalau dia bakal marah seandainya kamu pergi nemuin Bona lagi kayak semalam."
Aku tahu Jeonghan terkejut dan tengah membeku meskipun nggak melihatnya.
"Kamu bohong sama aku, Han? Lembur di tempat Bona semalam?"
_____
Yoon Cheonsa sudah kembali tidur waktu sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam. Aku lapar setengah mati tapi badanku rasanya remuk karena belum istirahat sama sekali. Jadi, aku langsung mengganti pakaian–membersihkan diri dan berbaring di atas ranjang. Jeonghan muncul sepuluh menit kemudian.
"Kamu nggak mau makan dulu? Aku baru delivery Chinese food," katanya dari ambang pintu kamar. "Kamu belum makan dari siang kan?"
"Enggak, Han. Aku capek karena belum tidur sama sekali. Kamu makan aja, jangan lupa langsung dicuci kalau udah selesai ya."
"Kamu masih marah sama aku?"
"Enggak. Mungkin bawaan capek juga jadi males mikir berat. Aku nggak apa-apa, udah ya, aku tidur duluan. Kalau butuh apa-apa, atau kalau misal Sa-yii bangun, kamu bangunin aja aku ya, Han. Good night."
Aku enggan menunggu respons Jeonghan dan memutuskan untuk menarik selimut sampai leher sambil memejamkan mata. Aku nggak akan repot-repot memenuhi kepalaku dengan berbagai prasangka negatif juga ribut-ribut malam ini. Selain memengaruhi kesehatan pikiran dan tubuhku–stres bisa mengganggu asupan asi Cheonsa juga. Uhm, katanya, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...