Junhui - Fate [14]

3.5K 649 155
                                    

"Jun, do you have anything to confess?" tanyaku setelah belasan menit berlalu dalam keheningan. Dia memutuskan untuk membawaku menghirup udara segar tepi pantai daripada pulang ke rumah–setelah melihat kecelakaan lalu lintas yang membuatku nyaris menggila. "Soal apapun."

"Apa yang kamu mau tahu?"

"Kenapa?" Aku menelan ludah lamat-lamat, setengah nggak percaya akan benar-benar menanyakan hal non-sense seperti ini pada Wen Junhui, sebelum menghela napas panjang. "Kenapa kamu bisa tahu kecelakaan tadi bakal kejadian sama aku kalau aku nggak sama kamu?"

Jun mengulas senyum tipis sambil menyibakkan rambutnya ke belakang–tangannya berhenti di bagian belakang kepalanya sebentar sebelum turun ke lehernya. "Ini penting sekarang?"

Aku mengangguk, mataku menyusuri garis-garis wajahnya yang terlihat lelah. Dia pasti luar biasa capek setelah apa yang terjadi hari ini. Tapi aku harus tahu, aku penasaran, apa dia bisa melihat masa depan atau semacamnya? Nggak masuk akal, kan. Iya, aku tahu.

"Ini konyol kalau kamu bilang aku bisa lihat masa depan," ujarnya. "Aku kelihatan kayak peramal? Kayak cenayang? Kayak anggota suku gipsy?"

Aku tertawa pelan. "Okay, so?"

"Panjang ceritanya."

"Aku punya banyak waktu malam ini," jawabku sambil mengangkat ponsel. "Aku udah bilang mama aku di sini sama kamu."

"Di–mana?"

"Pantai, kan. Emangnya kita di mana? Hotel? Enggak, kan, Jun?"

Jun terlihat seolah dia berniat memukulku barusan. Jadi, aku membalasnya dengan satu kedipan mata dan dia menyerah. Kembali menyandarkan tubuhnya di sofa, membalut suasana dalam mobil dengan keheningan.

"Warnanya pink, di antara hitam."

"Hah?" Aku mengernyitkan dahi, sama sekali nggak paham dengan apa yang dia bicarakan. "Blackpink? No, sorry, just kidding. Go ahead."

"Album fotomu." Jun mengulas senyum. "Rumah ibu di Shenzhen didominasi warna hitam dan putih. Termasuk album foto yang biasanya ibu tata di rak bawah televisi. Album foto ibu, album fotoku, semuanya hitam. Tapi, suatu hari, ada album warna pink di antara hitam."

"Album fotoku?"

"Iya, album fotomu." Jun menatapku, tangan kirinya menyusup di antara jari-jariku dan menggenggamnya dengan lembut. "Kalau dugaanku benar, selama ini album itu ibu simpan di kamarnya. Tapi, entah kenapa hari itu ibu lupa–atau memang sengaja."

"Dan?"

"Aku pingsan."

"Hah?" Aku merasa kernyitan di dahiku semakin dalam, berbanding lurus dengan kebingunganku dalam memahami kisah Jun. "Gimana?"

"Aku ambil album foto itu, aku buka albumnya, aku lihat fotomu, aku ingat kamu pernah tinggal di rumah itu sebelum pergi entah ke mana, dan aku pingsan."

"Aku secantik apa waktu kecil sampai kamu pingsan lihatnya?"

"Cantik banget pokoknya," Jun terkekeh. "Intinya, aku pingsan. Tapi, waktu itu, aku kira aku udah mati karena rasanya aneh banget."

"Hah?"

"Satu kali lagi bilang 'hah' kamu bakal dapat cium dari aku."

"Hah?"

"Wah, nantangin." Jun menarik tanganku dalam genggamannya, otomatis membuat tubuhku beringsut mendekat dan mencium sudut bibirku sekilas. "Aku lihat kamu udah dewasa. Kamu nangis karena seorang cowok yang namanya Yoon Jeonghan, aku lihat kamu nangis karena bayi perempuan yang namanya Yoon Cheonsa, dan ... kamu dipenjara dengan tuduhan membunuh bayi laki-laki yang namanya Hwang Kenji."

Wow.

Rasanya, jantungku benar-benar berhenti dan aku yakin seribu persen sepasang bola mataku sudah melebar–diikuti bibirku yang terbuka lebar.

Kenapa dia bisa tahu soal mimpi burukku di suatu siang di dalam bilik kerja Higher Records?

"A-aku?"

Jun mengangguk. "Aku nggak tahu kenapa tapi rasanya nyata, luar biasa nyata. Bahkan hatiku masih sakit waktu aku bangun tiga hari kemudian di dalam bangsal rumah sakit."

"Hah?"

"Aku pingsan, nggak sadarkan diri selama tiga hari setelah lihat fotomu di dalam album pink itu."

_____

Junhui bilang, dia langsung cerita semuanya sama ibu di Shenzhen. Ibu yang khawatir hal buruk terjadi padaku, memutuskan untuk mengirim Jun ke sini. Hidup di sini sambil berusaha mencariku dan memastikan hal buruk yang dia lihat selama nggak sadarkan diri itu nggak akan terjadi.

Yang membuatku heran, kenapa sepasang ibu dan anak angkatnya ini memercayai mimpi?

Yang membuatku lebih heran, kenapa dia melihat apa yang kulihat tentang Jeonghan?

"Aku luar biasa lega waktu akhirnya ketemu kamu dan kamu masih single." Jun menghindar begitu aku mengacungkan kepalan tangan. "Ada kesempatan buatku karena sekarang kamu secantik ini. Tapi bukan itu poinnya. Aku tahu kamu masih sendiri, jadi mimpi itu nggak benar. Cuma bunga tidur."

"Yea, lagipula kenapa kamu dan ibu percaya mimpi sih, Jun? Kenapa juga sampai lintas negara cuma karena mimpi? Nonsense."

"Tapi pada akhirnya apa yang kulihat kejadian kan?" Jun menaikkan sebelah alisnya. "Jangan dikira aku nggak tahu pertemuan keluargamu dan Jeonghan malam itu, sebenarnya buat perjodohan kalian."

Sepasang mataku kembali membulat, aku menoleh dengan cepat dan menemukan Jun balas menatapku. "No. Makan malam itu buat kasih undangan pernikahan mereka, Jun. Jeonghan dan Bona."

"It used to be like that. Kalau kamu nggak lancang dengan bilang ke Jeonghan tentang Bona yang kabur sama Minhyun, kamu adalah orang yang akan dia nikahi."

"How ... do you know?"

"Itu yang muncul di mimpiku."

Woah.

Ini benar-benar melelahkan. Tahu inception? Kenapa rasanya aku sedang membintangi filmnya? Mimpi di dalam mimpi...woah.

"Tapi malam itu Bona datang, Jun. Mereka kelihatan bahagia dan aku bahkan nerima dengan tanganku sendiri undangan pernikahan mereka."

"Sebelum ijin ke toilet, sebelum aku tabrak, sebelum kita kenalan," sambar Jun cepat. "Menurutmu, kalau kita nggak tabrakan di lorong, apa yang bakal terjadi?"

Hening. Aku benar-benar nggak bisa memikirkan apapun.

"Kamu akan sampai di meja itu lagi beberapa menit lebih cepat. Yoon Jeonghan bakal menikmati waktunya dengan ngobrol sama kamu dan mengabaikan Bona. Dia nggak akan tahu kalau Minhyun telepon–dan Bona, dengan kedok ijin ke toilet, kabur sama Minhyun. Kamu akan tetap jadi penggantinya, cuma urusan waktu yang agak mundur. Kalian akan menikah, kamu melahirkan Yoon Cheonsa, dan Hwang Kenji akan datang suatu hari nanti. Apa yang aku lihat akan jadi nyata."

"Jun?"

"Hm?"

"Kamu yakin nggak lagi nulis novel kan?"

"Aku bahkan tahu kamu punya mimpi yang sama waktu jam makan siang di Higher Records. Cuma sedikit beda. Kamu bersikeras untuk menghindari mimpi itu jadi nyata, itulah kenapa kamu pilih buat kasih tahu Jeonghan tentang Bona. Iya kan?"

"Kamu ... ini apa sih, sebenernya?"

_____

Aku merasa keberatan untuk membuka mata.

Maksudnya, indera penglihatanku ini terus menempel dan menolak dibuka seberapa keras pun aku berusaha. Tapi, suara tangis bayi yang sejak setengah menit lalu, mengganggu inderaku yang la–tunggu sebentar.

Apa aku baru saja bilang suara tangis bayi?

"Sayang, kamu mau bangun jam berapa? Ini Sa-yii nangis aku mana bisa bikin dia diem? Dia mau susu–aku nggak punya." []

_____

Hehehehehehehehehehehehehe :p 

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang