Woozi - Bittersweet [Ending]

5.2K 715 86
                                    

"Kak Jihoon."

Aku mengangkat pandangan dari layar iPod dan menduga akan kembali menemukan Minghao seperti beberapa bulan lalu. Namun, yang kutemui dan balas menatap kali ini adalah dia—pacarku.

"Kak, selamat!" Dia berseru sembari tertawa riang, membuatku nyaris mati karena serangan jantung—nggak, nggak. Dia nggak beneran ngomong. Aku bisa dengar suaranya, tapi bibirnya nggak bergerak mengucap selamat—cuma tertawa. "Selamat ya, akhirnya lulus juga!"

Aku masih terpaku, langsung menyadari ini mimpi karena ingat dia sudah pergi—tapi kenapa rasanya sangat hidup?

"Karena aku selalu hidup di dalam hati Kak Jihoon."

Suara barusan terputar di kepalaku, seperti tiga kalimat yang dia ucapkan sebelumnya. Aku mengerjap. "Kamu dengar aku?"

Dia mengangguk dan berjalan duduk di sebelah kananku. Mataku mengawasi, takut kecolongan lagi.

Wow, aku baru sadar. Ini taman kampus, tapi sepi sekali. Nggak ada siapa pun selain aku dan dia. Fix, ini memang mimpi. Tapi, ya sudah, biar aku menikmati. Toh ini pertama kali dia datang setelah pergi tanpa pamit.

"Kamu ngapain di sini?"

"Karena Kak Jihoon lagi kangen aku."

"Selalu. Tapi kenapa hari ini? Kenapa baru sekarang?"

Dia senyum. Masih cantik—oh, bahkan jauh lebih cantik ya ampun. Aku mengamati sebentar, apakah dia padat atau tembus pandang seperti hantu? Aku ingin memeluknya ... sebentar.

"Aku bisa dipeluk," katanya sembari menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukanku. Ya ampun, Tuhan. Aku menyesal lagi karena begitu jarang memeluknya selama hidup. "Aku ke sini karena hari ini Kak Jihoon akhirnya lulus—selamat."

"Makasih." Aku balas memeluknya sebentar dan—wow, tubuhnya hangat. "Aku kangen."

"Aku selalu ada sama Kak Jihoon, kok. Nggak boleh dikangenin terus, nanti Kak Jihoon jomlo seumur hidup mau?"

Aku tersenyum tipis sembari menyisir rambut panjangnya. Lembut. "Kamu senang?"

"Ya. Kak Jihoon juga harus juga harus senang. Aku nggak mau lihat Kak Jihoon sedih karena aku."

"Aku bukan sedih karena kamu."

"Ya udah, iya." Dia melepaskan pelukannya, menatapku. Satu detik kemudian mengulurkan tangannya untuk menangkup kedua pipiku. "Setelah lulus nanti, Kak Jihoon bener-bener harus mulai hidup yang baru. Di luar sana masih banyak kok cewek cantik dan baik yang bisa jagain Kak Jihoon."

"Kamu ... ada yang jaga di sana?"

Dia mengangguk. "Banyak. Kak Jihoon nggak perlu khawatir sama aku."

"Okay."

Aku mengangguk dan dia tersenyum sebelum mengecup bibirku sekilas. "Ih, lucunya. Aku gemas. Masih pengen makan pipi Kak Jihoon masa."

"Nih, makan kalau bisa. Boleh kok."

"Sayangnya nggak bisa."

Hening sebentar.

"Sayang," panggilku pelan dan dia mendongak. "Ini mimpi kan?"

Dia mengangguk sambil mengerucutkan bibir—duh imutnya.

"Now ... Good bye?" Dia menatapku. "Janji sama aku Kak Jihoon bakal bahagia dan nggak boleh sedih."

Aku mengangguk, menepuk kepalanya lembut. "I will. Mau sering-sering datang ke mimpiku?"

"Nggak bisa. Nanti Kak Jihoon malah kangen aku terus dan nggak cari pacar baru—huft. Aku tau lho kalau Kak Jihoon sering ngalamun dan nggak tidur di studio."

"Bukan mikir kamu, mikir tugas akhirku."

"Masa?"

"Bohong."

Dia tertawa. "Ya udah, sana bangun. Nanti telat datang ke acara wisudaan. Titip salam buat Kak Seungcheol ya. Aku sayang kalian berdua pokoknya—eh, buat Minghao juga."

"Kamu sayang dia?"

"Sayang. Tapi cintaku cuma Kak Jihoon. Love you."

Aku kembali mengulas senyum. "Love you too."
______

Pertama kali setelah dia pergi, aku bangun tidur dalam keadaan begitu damai. Aku tahu, yang barusan cuma mimpi tapi rasanya hatiku menghangat.

Aku mengusap bibir bawahku dengan ibu jari kanan—merasakan kecupan semu yang dia berikan dalam mimpi. Kulirik fotonya yang kuletakkan di nakas dan menemukan dia tengah tersenyum padaku—ah, cantiknya.
_____

"Jihoon!"

Choi Seungcheol yang berada sekitar 10 meter di depanku melambaikan satu buket bunga mawar dengan bersemangat. Pacarnya—yang demi Tuhan alhamdulillah sudah baikan pasca kasus Nayeon—ikut tersenyum.

"Selamat, wow. Cum laude—lulusan terbaik jurusan musik? Dia pasti bangga banget sama kamu," katanya sambil menyerahkan buket bunganya padaku. Pacarnya, ikut menyalamiku.

"Makasih." Aku menjawab singkat. "Dia udah kasih selamat. Tadi malam datang ke mimpiku. Titip salam buatmu, katanya suruh cepet selesaiin skripsimu."

"Dia datang? Akhirnya?"

"Yaa." Aku mengangguk. "Cantik banget."

"Adikku, sih. Masa jelek orang kakaknya ganteng gini."

"Udah ah, aku mau pulang. Capek dengerin kamu ngomong. Makasih udah datang ke wisudaku. Nice to see you both."

Seungcheol tertawa pelan sebelum menonjok lenganku. "Aku nggak datang cuma untuk kasih selamat."

Dia merogoh saku celana belakang dan mengulurkan sebuah undangan. "Hmm, bukan undangan pernikahan. Calm, aku masih belum lulus. Cuma tunangan sekaligus grand opening kafe. Um—salah satu impian dia. Bikin bisnis kafe sama aku."

Aku mengamati undangan bernuansa cokelat muda yang kini berada di tangan kiriku sebelum menatap pacarnya. Sedetik kemudian aku sadar: dia yang dimaksud bukan pacarnya tapi adiknya—pacarku.

"Um, well, selamat buat kalian berdua. Aku datang—pasti. Kalau urusanku di perusahaan udah kelar ya."

"Kamu lanjut di perusahaan itu?"

Aku mengangguk. "Kebetulan mereka butuh produser baru dan cocok sama lagu-lagu di album ulang tahunnya—hmm, semacam close recruitment."

"Kamu nggak bilang!"

"Kamu sibuk terus sama pacarmu, Seungcheol," kataku sambil senyum. "Baru dikabarin kemarin lusa—oke?"

"Selamat! Kamu emang talented as f—sori."

Aku tertawa, pacarnya juga.

"Ya udah, ini barang-barangku masih di dalam gedung dan keluargaku nunggu di parking area buat foto studio. Mau gabung sekalian?"

"Oh, nggak usah. Kebetulan mau cek progres kafe juga. Habis itu jam empat ada bimbingan—ah, stres."

Aku mengulas senyum lagi dan berjalan mendekat untuk memeluk Choi Seungcheol—satu dari dua orang lain yang berbagi rasa sayang dan rindu yang sama buat dia. "Semangat."

"Thanks," katanya sambil balas memelukku ringan.

Aku mundur sedikit dan mengangguk ke arah pacarnya sebelum berbalik untuk benar-benar pergi dari lapangan utama kampus—secara harfiah meninggalkan masa-masa perkuliahan yang penuh dengan dia.

Sesuatu yang baru sudah menantiku.

Menjadi produser adalah impianku. Mulai sekarang, aku bisa lebih bebas mewujudkan dia dalam setiap baris lirik dan ketukan nada.

Aku tahu kamu dengar aku dari sana.
_____

Masih ada epilog. Nanti dijelasin gimana dia bisa sama Green. Tenang, yorobun, semoga kamu tida akan membenci Green setelah part epilog wkwk. Luvyu.

Eh, abis Jihoon kayanya Minghao deh kalo di hasil vote. Iya apa iya? 😁

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang