Tiga hari berlalu sejak panggilan video yang sukses membuatku gugup memikirkan Wen Junhui nonstop–dan sosoknya kini berdiri di depan pintu apartemenku. Mengulas senyum tipis sebelum menyapa dengan suara pelan, "Hai."
"H-halo," balasku sambil menutup pintu di belakang pelan-pelan. "Kok ... udah sampai sini? Katanya dua ming–"
"Berapa jatah cuti yang kamu punya dalam satu tahun?"
"Hah?" Aku melongo, tapi Wen Junhui kelihatan serius dengan pertanyaannya jadi aku berdeham. "Dua minggu. Empat belas hari, Jun."
"Udah habis?"
"Belum." Aku menggeleng. "Masih ada sepuluh hari karena aku memang jarang ambil cu–"
Wen Junhui mengulurkan tangannya, menautkan jari-jari kami sebelum menarikku berjalan lambat di sepanjang koridor apartemen–dan aku masih penasaran setengah mati.
Kenapa genggamannya terasa begitu nyaman dan ... akrab? Maksudku, rata-rata orang yang pernah menggandengku, mereka enggak melakukannya seperti ini, enggak menautkan jari-jarinya seperti ini–cuma menggenggam biasa. Jadi ... kenapa terasa akrab? Apa dia pernah melakukan ini sebelumnya? Sebelum pertemuan di Exchange malam itu?
"Aku rasa Lila memang nggak keberatan," ujar Wen Junhui begitu kami berada di dalam lift. "Boleh ya? Hari ini aja nggak usah ke kantor."
"Hah? Jun, tapi aku handle semua pekerjaan Yoon Jeonghan selama dia cuti married dan aku belum–"
"Aku bilang, Lila memang nggak keberatan," potongnya cepat. Suaranya rendah dan aku baru sadar dia enggak benar-benar menatapku dari tadi–sesuatu mengganggunya. "Itu artinya, dia udah tahu kalau hari ini kamu nggak keberatan."
"Kamu telepon Lila? Kamu kenal dia?"
"Tadi begitu landing di sini." Wen Junhui menarikku keluar begitu pintu lift terbuka di area basement–tempat parkir. "Aku nggak begitu kenal Lila, cuma sering lihat sebelumnya."
"Dan dia kasih aku ijin gitu aja?"
"Iya." Dia mengangguk, melepaskan tangannya dari tanganku–merogoh saku celana dan mengeluarkan kunci mobil. "Lila kira kita pacaran–jadi ya, segampang itu."
"Aku bakal kelihatan nggak profesional karena ambil cuti buat pacaran," gumamku pelan dan Wen Junhui menoleh cepat, tersenyum kecil. "Maksudku, a-aduh, bukan gitu. Harusnya k-kamu meluruskan gitu loh, kalau kita nggak pacaran d-dan bilang–"
"Aku bercanda," katanya sebelum membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk. "Atau udah berubah pikiran dan mau beneran pacaran?"
"Jun ..."
"Okay." Dia menutup pintu begitu aku duduk dan berjalan mengitari mobil untuk masuk dari sisi lain. "Seatbelt."
"Ah, ya." Aku menarik seatbelt dan memasangkannya menyilang. Setelahnya, aku sempat mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu. "K-kenapa?"
"Maaf ya," katanya sebelum kembali melihat ke arah depan dan menyalakan mesin. "Buat semuanya. Aku janji hari ini terakhir kalau kamu memang keberatan."
Aku mengerutkan dahi, enggak paham dengan apa yang tengah dia bicarakan. Setelah terus-terusan menghujaniku dengan perhatian-perhatian yang sebenarnya nggak penting, apa Wen Junhui baru saja meminta maaf karena ini terakhir kali dia melakukan ... semuanya?
"Kamu ada masalah, Jun?"
"Hm?"
"Bukan masalah." Dia melirik sebentar–ke arah tanganku yang bebas. "Aku ... boleh pegang tanganmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...