"Kamu bayangin aja, vertical running dari lantai empat ke lantai sembilan. Bukan lari santai, lari-lari karena dikejar orang." Seokmin mengulas senyum sebelum mengitari sofa dan duduk di sana. "Sini, duduk, aku tahu kamu capek berdiri."
Aku mengikuti perintahnya–duduk di bagian kanan sofa yang ditinggalkan kosong dan Seokmin meletakkan kepalanya di atas pahaku sesaat kemudian. Dia menghela napas panjang sambil mengusap lehernya sendiri–tampak super kelelahan.
"Kalau kamu perhatiin tadi, Yuna pakai heels. Dia kesulitan lari dan slipped di beberapa anak tangga–aku tolongin dia."
"Really?"
Seokmin mengangguk. "Dan di salah satu lantai, aku nggak tahu itu lantai berapa karena nggak sempat lihat. Dia bener-bener kepleset, mau aku tolong malah ikut jatuh. Nih, lihat, siku kananku sama atas perutku memar. Kena pinggiran anak tangga."
Aku menganga sementara Seokmin menggulung lengan kemejanya–memperlihatkan sikunya yang membiru.
"Ini pakai apa obatinnya, Sayang? Aku belum sempat karena tadi papa sama Vernon datang nggak lama setelah kamu keluar."
"Aku tahu, aku ketemu mereka di depan lift." Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh luka memarnya dengan hati-hati. "Ini sakit?"
"Ya, lumayan." Dia meringis sebelum menyingkap bagian bawah kemejanya dan aku bisa melihat memar lain di perut kanannya. "Ini lebih sakit karena jatuhnya keras dan tempatnya di sini banget."
"Enggak ada yang berdarah kan?"
Seokmin menggeleng.
"Ini ... aku kasih olive oil aja ya. Sebentar."
Aku berniat memindahkan kepala Seokmin dari pahaku dan pergi mengambil olive oil di kamar kami–tapi dia justru menahan tanganku dan menempatkannya di atas jidatnya. "Nanti aja, gampang. Aku udah nyaman gini."
"Ini besok bakal lebih biru–bisa jadi item gitu. Kamu yakin nggak apa-apa?"
Seokmin mengangguk lagi, memejamkan matanya. "Oh iya, soal kemejaku yang keluar tadi, itu karena Yuna sempat ngecek ini sebentar. Sebelum kami lari lagi dan ketemu kamu di lantai sembilan."
Aku menelan ludah membayangkan bagaimana Yuna mengecek luka memar Seokmin di bagian ini. Ya ampun ... kepalaku mendadak pusing. Aku cemburu–nggak akan menyangkalnya lagi. Bagaimanapun mereka pernah saling suka, saling sayang, saling cinta? Yakin nggak melibatkan apapun?
"Aku nggak bohong," Seokmin membuka matanya lagi, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap daguku dengan ibu jarinya. "Kenapa? Badmood kamu? Maaf, Sayang."
"Aku cuma ... nggak nyaman aja bayangin kamu dilihat sama orang lain."
"Ini cemburu?"
Seokmin beranjak duduk dan kini menatapku sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena gerakan yang tiba-tiba. Aku cuma balas menatapnya sambil mengerucutkan bibir dan mengedipkan mata cepat–menahan tangis.
Dia malah tertawa sebelum merengkuhku ke dalam pelukannya. Air mataku otomatis tumpah di lekukan lehernya sementara Seokmin mengamankan tubuhku dalam pelukannya dan menyisir rambutku dengan jari-jarinya.
"Jangan nangis dong," katanya. "Maaf ya, enggak lagi-lagi aku buka baju satu senti pun di depan cewek lain. Janji banget ini aku, nggak bohong, Sayang."
Aku masih sesenggukan, meski begitu aku balas memeluk Seokmin erat-erat. "Janji ya, awas kamu kalau kayak gitu lagi aku pulang aja ke rumah mama."
"Jangaaaaan." Dia tertawa lagi sebelum melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya. Sepasang mata cokelatnya menatapku–dia tersenyum dan hatiku menghangat menemukan eye smile-nya. "Jangan pulang ke rumah mama, aku nggak mau tidur sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...