Seungkwan - Delicate [3]

2.7K 489 30
                                    

"Hei," sapa Seungkwan tepat sedetik setelah aku meletakkan tas di atas meja yang berada di sebelah kanannya. "Tumben berangkat awal–nggak mepet dari jam masuk?"

"Bangun kepagian and don't know what to do," jawabku sambil mengangkat bahu. "At least di kampus ada kamu jadi ada teman ngobrol."

"Baru aja aku berniat mau chat ngingetin jangan bolos."

"Oh, nggak usah." Aku mengulas senyum sambil melambaikan tanganku di depan wajahnya. "Ponselku bakal inactive seminggu ke depan. Papa telepon terus, aku males."

Seungkwan menghela napas panjang mendengar jawabanku sebelum mengeluarkan satu kotak bekal dari dalam tasnya. "Sarapan? Aku sengaja bawa ini karena tahu kamu jarang makan pagi. Roti bakar–buat ganjel aja, sih. Nanti kelar kelas kita makan di luar."

"Di luar mana?" sambil tertawa, aku membuka kotak bekalnya dan melihat dua potong roti bakar dengan selai cokelat. "Nggak biasanya kamu jajan di luar."

"Terserah kamu, sih, mau makan apa." Seungkwan mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibirku yang sepertinya terkena remahan roti. "Aku kan baru pulang jadi masih banyak uang."

"Katanya, kalau sombong uangnya berubah jadi burung–ada sayapnya dan terbang dari dompet gitu aja," kataku bercanda dan Seungkwan tertawa. "Makan di kantin kampus aja apa?"

"Pass." Seungkwan mengangkat tangan kanannya–masih menatapku dan kayaknya nggak berniat ganti objek sampai dosen masuk. "Bosan. Street food mau?"

"Oh, I would love to!" seruku sebelum memasukkan potongan terakhir roti bakar ke dalam mulut. "Kebetulan semalam aku mimpi makan odeng."

"Call. Makan odeng di depan fakultas kedokteran ya?" tanya Seungkwan sambil mengulurkan tangannya–lagi–untuk mengusap sudut bibirku. "Ini dimakan sekalian yang satu potong sisanya."

"Loh, aku kira kamu bawa dua tuh buat kita masing-masing satu?"

"Nggak." Seungkwan menggeleng. "Aku udah sarapan tadi. Ini sengaja bawa dua potong supaya kamu makan banyak. Habisin ya, aku mau lanjutin ini dulu," tambah Seungkwan sembari mengetukkan jari-jari kanannya di atas selembar kertas putih penuh coretan di atas mejanya.

"Apa tuh?"

"Rahasia."

Seungkwan menggunakan lengannya untuk menutupi kertas tadi dan aku nggak merasa ingin melihat lebih lanjut. Jadi, aku memutuskan untuk melanjutkan acara makan pagi alias sarapan dengan roti bakar buatan Seungkwan. Sepuluh menit lagi kelas dimulai dan anak-anak mulai bermunculan.

_____

"Sabar dong kalau makan," Seungkwan berdiri dan menarik beberapa lembar tisu di depan penjual odeng dan mengulurkannya padaku. "Pipimu jadi saos semua tuh. Pelan-pelan, odeng sama kue beras pedasnya nggak bakal lari."

"Tapi kalau udah nggak panas tuh nggak enak," sanggahku sambil mengusap pipi dengan tisu yang diberikan Seungkwan. "Kamu kok nggak makan? Sini aku suapin."

Dia mengangguk dan mencondongkan tubuhnya–aku mengirim satu tusuk kue beras pedas kemudian. "Bahagia?"

"Hm?" Aku mengangkat kepala dan mengulas senyum tipis sebelum mengangguk samar. "Dulu, waktu aku masih sekolah dan pulang sama Kak Jaehyun, kami sering mampir beli street food. Sampai rumah dimarahin mama karena terlambat buat les piano."

"Kangen?"

"Kadang." Aku mengangguk, mengurungkan niat menusuk satu kue beras pedas dari tempatnya dan memilih untuk meneguk air mineral. "Maksudku, Kak Jaehyun kan nggak tahu apa-apa, nggak terlibat sama sekali soal ini. Jadi ... ya gitu."

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang