"Dengerin aku." Soonyoung berdiri, menahan lenganku dengan sedikit kasar. "Tadi itu beneran Green. Tapi aku juga nggak tahu—"
"Jangan bilang kamu nggak tahu kenapa dia kangen sama kamu." Aku memotong cepat, sadar suaraku mulai parau dan pandanganku mengabur. "Aku nggak mau kamu bohong sama aku."
"Aku nggak bohong sama kamu."
"Kenapa dia nyari kamu? Kenapa dia ngerasa kamu ngehindar? Kenapa dia ... kangen sama kamu kalau kalian nggak ada apa-apa? Kalian sedekat apa?"
"Aku koreografernya, Sayang."
"Cuma itu?"
Soonyoung mengerjap. "Cuma ... itu."
Aku mengulas senyum, melepaskan cengkeraman tangan Soonyoung di lenganku—perlahan. "Kamu bohong."
Aku berbalik, meninggalkan kamar dan setengah berlari keluar—mencari kunci mobil di laci ruang tengah. Soonyoung di belakangku, mengikutiku.
"Jangan pergi, udah malam," katanya pelan begitu aku menemukan kunci mobilku di laci nomor dua. "Sayang, please, aku minta maaf."
"Aku nggak mau denger kata maaf lagi, Soonyoung."
Aku tahu, aku menangis sekarang. Hatiku sakit, dadaku nyeri. Kenapa juga dia melakukan ini padaku? Aku kesepian sampai nyaris mati karena sendirian menunggu dia pulang—dan dia?
"Kamu nggak boleh bawa mobil sambil nangis," katanya pelan, berusaha mengambil kunci mobil dari tanganku—gagal. "Bahaya, kamu bisa kecelakaan."
"Kenapa kamu peduli? Bukannya bagus kalau aku mati—"
"Berhenti." Soonyoung sedikit membentak, tangannya kembali mencengkeram pergelangan tanganku yang memegang kunci. "Jangan ngomong kayak gitu lagi. Bawa sini kuncinya."
Aku menggenggam kunci mobil semakin erat, nggak membiarkan Soonyoung mengambilnya. Tapi dia cukup kuat, dan aku terlalu lemah. Nggak butuh waktu lama sampai kuncinya berpindah tangan. Dia melemparkan benda itu ke atas sofa dan memelukku.
"Aku nggak mau," kataku sambil berusaha keras melepaskan diri. "Lepasin aku."
Kelihatannya Soonyoung nggak berniat mendengarkan permintaanku karena dia masih memelukku dengan erat. Nggak peduli kaosnya basah oleh air mataku. Dia meletakkan dagunya di puncak kepalaku—mengunci pergerakanku.
"Aku mau tidur, lepas."
Soonyoung mengendurkan pelukannya, membuatku bisa bergerak bebas. Aku berbalik cepat—berjalan ke kamar. Mengambil selimut dan kembali ke ruang tengah setengah menit kemudian. Soonyoung masih berdiri di tempat yang sama.
"Jangan tidur di sini, nanti sakit semua."
"Nggak pa-pa, sekalian. Udah terlanjur."
Soonyoung mendesah.
Aku nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ke mana Soonyoung pergi, apa yang dia lakukan, balasan apa yang dia kirim pada Eunjin, aku nggak tahu—sudah bersembunyi di balik selimut, menangis di sana sampai ketiduran.
_____Aku bangun keesokan harinya dan beberapa bagian tubuhku terasa sakit—pegal. Aku berniat pergi mandi dan keluar untuk jalan-jalan saat mataku menangkap keberadaan Soonyoung.
Dia tidur dalam posisi duduk di single sofa. Telapak tangan kanannya dia gunakan untuk menutupi sebagian wajahnya. Soonyoung kelihatan berantakan, rambutnya acak-acakan, dan raut wajahnya lelah.
Aku nggak percaya—kenapa juga dia menemaniku tidur di sofa? Bukannya di dalam lebih nyaman. Lagipula dia harus pergi kerja pagi ini—bertemu dengan Si Hijau untuk fiksasi koreografi kan, katanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...