Wen Junhui benar-benar menciumku dengan bibirnya yang manis karena baru saja makan permen rasa mint dan stroberi saat mengganti baju. Perlahan dan lembut seolah aku ini adalah barang paling rapuh di dunia. Kedua tangannya menangkup pipiku, menahanku supaya tetap diam dan nggak berusaha menghindar seperti sebelumnya–waktu dia mencoba mengacak rambut, atau mengusap pipiku.
Mengejutkan.
Aku sama sekali nggak menolak, nggak berpikiran untuk menghindar apalagi menjauh, lantaran sibuk mengatur detak jantung yang menggila dan ... membalas ciumannya.
Aku ... membalas ciuman Jun. Aku bahkan menggunakan tangan kananku yang bebas (tangan kiriku masih memegang gelas wine) untuk menahan kepalanya–beberapa kali menarik rambut Jun kalau dia terlalu bersemangat dan menyulitkanku dengan berat tubuhnya.
Wen Junhui menjauhkan tangan kanannya dari pipiku dan meraih gelas wine-ku sesaat kemudian–meletakkannya di atas meja sebelum mendorong tubuhku sampai jatuh di atas sofa. Di saat yang sama, aku semacam tersadar–sesuatu akan terjadi kalau aku nggak berhenti. Jadi, aku menggunakan kedua tanganku untuk menahan Jun–dan dia berhenti, menatapku.
"You did well," katanya sebelum mengulas senyum tipis dan menarik tubuhnya ke belakang–kembali duduk. "Kamu bisa menangani trauma malam Natal dengan baik. Aku lega."
Aku mengernyit, terlalu malas beranjak duduk–jadi aku tetap dalam posisi setengah berbaring dengan kepala di lengan sofa. "Maksudnya?"
Jun menghela napas sebelum mengambil gelas wine-ku dan menenggak isinya sampai habis nggak bersisa. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia terlihat lelah dan sedikit sedih. "Nggak mudah bagi siapapun melewati hari-hari mereka seperti biasa setelah mengalami kejadian semacam itu. Jangankan dicium, didekati aja pasti udah panik. Tapi ... kamu bisa."
Aku menelan ludah. Bingung harus memberikan reaksi seperti apa. Sesaat lupa kalau Wen Junhui menyaksikan apa yang terjadi padaku di malam Natal itu.
"Jun, boleh aku tanya sesuatu?"
Dia menatapku, menelengkan kepalanya sebelum menjawab dengan satu kedipan mata. "Anytime."
"Apa ... kamu nggak risih sama aku? Enggak jijik meskipun kamu lihat sendiri apa yang aku dapat malam itu? Selama ini aku insecure. Aku takut ... nggak ada yang mau terima aku kalau tahu kejadian malam itu."
Hening. Wen Junhui menatapku cukup lama–seolah memastikan apa aku benar-benar menanyakan hal barusan.
"Aku sayang kamu," katanya kemudian–sebelum memberiku senyum tipis dan menunduk malu-malu. "Aku enggak risih apalagi jijik. Justru ... aku yang sampai hari ini masih nggak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih diam malam itu. Tapi ... lihat yang barusan aku lega. You did well, you kiss me like a pro. Still, even after that accident."
Aku refleks menutup wajahku dengan kedua tangan karena malu. Sudah pasti pipiku memerah karena rasanya panaaas sekali. Jun tertawa dan kini berusaha menarik kedua tanganku.
"Nooo, please, Jun, aku malu!" seruku. "Please, anggap aja yang barusan enggak pernah terjadi."
"Kenapa? Aku suka."
"Juuuun."
"You better love yourself more. You deserve the world, Sweetie," ujar Jun sedetik sebelum berhasil menarik kedua tanganku dari wajah–sekaligus menarikku sampai duduk di hadapannya. "See, you are more than beautiful. Your flawless hair, your fair skin, your shining eyes, your sharp nose and your ... tasty lips–can I have it all by myself?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...