Jeonghan - Escape [11]

3.9K 672 41
                                    

Papa marah besar.

Terlalu besar sampai kata-kata kasar bergantian keluar dari mulutnya dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Jeonghan. Aku terkesiap dan refleks menutup mata Cheonsa yang berada di pangkuanku. Kenji ada di sampingku, menunduk memainkan gantungan kunci boneka doraemon yang kuberikan beberapa waktu lalu tanpa merasa terusik sama sekali.

"Papa malu sama istrimu, Han. Kamu nggak malu?"

Jeonghan diam dan menunduk–entah sengaja nggak menjawab atau memang nggak bisa berkata-kata. Aku melirik mama dan tampaknya beliau setuju untuk membawa pergi anak-anak dari ruang tengah. Bentakan, teriakan, dan sebuah tamparan sepertinya enggak baik disaksikan bayi-bayi ini. Aku membopong Cheonsa sementara mama membawa Kenji di lengan kirinya.

"Aku enggak apa-apa, Ma," kataku sembari berjalan menuju halaman belakang. "Jeonghan juga enggak tahu kalau Bona pergi dalam keadaan mengandung Kenji. Aku perhatikan sayangnya buat Sa-yii dan aku juga enggak berkurang."

"Mama minta maaf, Sayang."

Aku mengulas senyum sambil menggeleng tipis. "Mama enggak salah, jadi nggak ada yang perlu aku maafkan."

"Kamu enggak marah sama Jeonghan?"

"Aku marah. Bahkan aku sempat kepikiran untuk pisah. Tapi aku enggak tega tiap kali lihat Sa-yii. Aku benci Jeonghan sampai hari di mana Sa-yii lahir. Dia alasanku bertahan sampai akhirnya aku benar-benar jatuh cinta. Aku enggak mau Sa-yii tumbuh tanpa ayahnya, Ma."

"Seharusnya dulu mama enggak sembarangan minta bantuan orangtuamu kalau akhirnya begini," ujar mama begitu sampai di salah satu gazebo halaman belakang rumah orangtua Jeonghan. "Mama dan papa benar-benar egois, mengorbankan kamu buat menyelamatkan wajah keluarga kami."

"Enggak begitu, Ma," aku mengulas senyum sambil menyingkirkan tangan mungil Cheonsa yang baru saja memukul pipiku–lagi. "Kalau bertahun lalu mama dan papa enggak bantu mama dan papaku, mungkin hari ini juga enggak akan ada aku. Justru, aku berterima kasih–berkat perjodohan mendadak itu ... aku bisa jatuh cinta lagi dan punya keluarga kecil yang selalu pengin aku jaga. Mama tahu sendiri aku nggak punya niatan untuk menikah sebelumnya."

Mama tersenyum–tampaknya sudah kehabisan kata-kata untuk membicarakan masa lalu. "Kenji pendiam ya? Beda sama Sa-yii," katanya sambil mencubit pipi Kenji gemas.

"Mama pasti kenal Kim Bona. Mungkin sifatnya yang ini ... menurun dari ibunya?"

"Sepertinya bukan," Mama menggeleng. "Kenji mirip Jeonghan waktu kecil. Dia pendiam."

"Jeonghan pendiam?" Aku terkejut. Sepertinya enggak mungkin Yoon Jeonghan itu sempat menjadi sosok pendiam. Dia memang nggak begitu banyak bicara. Tapi tingkahnya ... absurd. Nggak pernah diam. "Aku nggak tahu kalau Jeonghan pendiam."

"Jeonghan kecil itu anak yang pendiam," kata mama sambil menerawang jauh ke depan–seolah dengan begitu memori akan masa kecil putranya dapat terputar otomatis. "Dan ... sayang perempuan. Maksudnya, dia sayang mama dan adiknya. Mama seribu persen percaya kalau dia enggak bohong. Mama tahu dia berkata benar soal Kenji. Dia pasti benar-benar nggak tahu kalau Kenji itu ada. Soal jaga perasaanmu ... mama juga tahu itu benar. Dia sayang kamu, dia enggak mau kamu terluka. Bahkan, mama juga yakin–kalau kamu tetap bersikukuh mau pisah dengan alasan enggak mau terluka lebih banyak, dia akan lepas. Jeonghan enggak suka mengikat orang di sekitarnya kalau itu membuat orang lain nggak nyaman dan semakin terluka."

Aku menanggapi kalimat panjang mama dengan ulasan senyum tipis. Terlepas dari status Jeonghan sebagai putranya, aku percaya apa yang dikatakan mama benar dan bukan pembelaan semata. Aku bisa melihat Jeonghan sudah pasrah. Enggak memaksa waktu aku bersikukuh ingin pergi sampai mengunci diri di kamar bersama Cheonsa. Dia diam dan memilih untuk menunggu di luar. Padahal, kalau mau, ada kunci cadangan di laci bawah televisi dan dia bisa menerobos masuk kapan saja.

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang