Yang terjadi kemudian adalah Yuna buru-buru membungkuk cukup rendah, memberi salam padaku sebelum berlari–bukan, kurasa dia berjalan tergesa–menuju ke arah di mana aku datang. Seokmin berjalan mendekat, tapi aku refleks melangkah mundur. Rasanya ada sebagian dari diriku yang menolak melakukan kontak fisik setelah pikiran-pikiran kotor menyambangi kepalaku beberapa detik lalu.
Aku bisa mendengar Seokmin menghela napas berat sebelum menelengkan kepalanya ke arah kantornya dan berjalan sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Satu detik kemudian aku mengikuti di belakangnya, memilih untuk menunduk menatap kotak-kotak keramik lantai dan bagian belakang sepatunya ketimbang harus menatap bagian belakang tubuhnya.
Apa yang baru saja terjadi?
Bruk.
Aku benar-benar nggak memperhatikan depan sampai nyaris menabrak pintu kaca yang menjadi pintu utama masuk ke dalam kantor Seokmin. Untung dia berhenti di depanku–tangan kanannya menahan pintu sementara tangan kirinya menghalangi tubuhku.
"Jangan ngelamun."
Aku menggeleng, mengulas senyum canggung sebelum melangkah masuk. Suasana di dalam area kantornya cukup sepi–hanya ada beberapa bilik yang ditempati. Mungkin karyawan lainnya sudah keluar sejak tadi.
Seokmin berjalan lurus menuju ruangannya yang terletak di ujung area. Aku masih mengikuti sambil sesekali memastikan situasi karena nggak lucu kalau tiba-tiba sesuatu terjadi di dalam sana dengan beberapa karyawan yang menjadi saksi mata. Sesuatu seperti adu mulut atau mungkin aku tiba-tiba menangis keras-keras sampai terdengar dari luar?
Yang terakhir sepertinya enggak akan terjadi.
Aku meletakkan lunch box yang sejak tadi kubawa di atas meja sementara Seokmin membenahi pakaiannya dan menata kembali rambutnya. Aku duduk di sofa, mengamati dengan perasaan campur aduk. Hening, canggung selama tiga puluh detik berikutnya sampai Seokmin berbalik dan berdeham.
"Ini bukan kayak apa yang kamu pikir," katanya sebelum menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa di hadapanku. "Jangan salah paham. Ya?"
"Kamu tahu aku mikir apa?"
"Yang enggak-enggak," jawab Seokmin. "Aku–"
"Aku ke sini cuma mau nganterin makan siang yang aku coba masak sendiri di rumah tadi. Tapi kayaknya kamu udah makan siang?"
Sengaja. Aku sengaja memberikan penekanan pada dua kata terakhir–um, semacam sindiran? Kurasa.
"Belum." Dia menggeleng dan memajukan tubuhnya untuk meraih lunch box di atas meja. "Aku belum makan siang. Ini ... kamu masak sendiri?"
Aku mengangguk. Ya ampun, kenapa rasanya seperti ini? Kenapa Seokmin nggak bersikeras mencoba menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka? Aku memotong kalimatnya sekali dan dia menyerah untuk menjelaskan? Memutuskan untuk menutupi apapun itu dan membiarkan kepalaku memikirkan yang enggak-enggak?
"Jangan lupa dibawa pulang tempat makannya," kataku sebelum bangkit dari sofa dan susah payah menelan ludah. "Aku pulang dulu. Kabari aku kamu mau makan malam di rumah atau di luar."
Seokmin mendongak dan ikut berdiri–aku otomatis mengalihkan fokus pada objek lain yang sialnya malah jatuh pada foto kami saat upacara kelulusan.
"Aku nggak bisa bilang di sini. Aku perlu ... waktu buat ngerangkai dan ngatur ceritanya supaya kamu nggak salah paham. Nanti aku jelasin di rumah. Ya?"
"Just take your time. I'm leaving."
Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Aku nggak mendengar suara langkah kaki yang berarti Seokmin nggak bergerak untuk menyusul atau menahanku pergi. Ya Tuhan, untung aku sudah bertemu mama sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
Hayran KurguBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...