Junhui - Fate [Prolog]

7.1K 808 109
                                    

Sinting.

Pemilik Exchange Bistro yang kutabrak beberapa hari lalu itu muncul di Higher Records hari ini. Mencariku dan mengaku sebagai pacarku, membuat heboh seisi kantor termasuk Yoon Jeonghan yang repot-repot meneleponku padahal sudah cuti bekerja mengingat besok adalah hari pernikahannya.

"Jadi alasan sebenarnya kamu menghindari perjodohan denganku karena cowok Wen itu?"

Aku memutar bola mata kesal. Masa bodoh meski Yoon Jeonghan nggak lihat, rasanya aku tetap harus mengekspresikan kekesalanku hari ini. Suara tawanya itu terdengar agak mengganggu hari ini–pfffft.

"Dari mana kamu dengar kabar itu?"

"Lila, of course, informan terbaikku yang nggak mungkin berani kamu maki-maki."

"Aku jadi bingung, orang-orang kaya semacam Lila dan Wen Junhui itu kadang memang aneh," ujarku menanggapi omongan Jeonghan. "Omong-omong, Kim Bona okay?"

"Hmm ... sebenarnya dia kurang enak badan karena usia kehamilannya yang masih muda. Tapi mau gimana lagi, aku nggak mungkin batalin atau sekadar nunda. Doain aja semoga besok dia enggak tumbang. Sekarang lagi tidur," jawab Jeonghan. "Kamu datang kan?"

"Kamu nggak tahu kalau Lila meliburkan semua karyawan Higher Records dan mewajibkan kamu datang ke pernikahanmu besok? Dia bahkan sewa sekitar enam atau tujuh mini bus."

Jeonghan terkekeh dan aku otomatis ikut tertawa pelan. "Siapa tahu kamu absen karena belum dapat pasangan."

"Aku bisa datang sendiri, Han. Atau mungkin sama mama dan papa."

"Yeah, atau mungkin sama Wen Junhui."

"Aku tutup teleponnya–sialan," cibirku pelan, sempat mendengar tawa Jeonghan sebelum menekan tombol berwarna merah untuk mematikan telepon. "Yoon Jeonghan, memang definisi sialan."

Aku meletakkan ponselku dalam keadaan terkunci di atas meja dan memandangi layar komputerku–melamun sebentar. Sejak acara makan malam sekitar lima atau enam hari lalu itu, aku dan Jeonghan menjadi lebih dekat. Dia sering menyapaku, menggodaku, mengajakku bergabung tiap makan siang, dan menghapus segala macam formalitas yang membatasi kami sebelumnya.

Singkatnya, kami menjadi teman.

"Kamu serius mau nganggurin cowok ganteng itu di lobi depan?" tanya Songju, mengintip dari papan pembatas kubikel. "Dia masih nunggu di sana, tidur siang–dengan posisi duduk–di lobi."

"Serius?"

Songju mengangguk. "Kata Yena, yang hari ini jaga front office, dia nggak mau pergi sebelum kamu turun dan nemuin dia. Coba turun deh, kalau nggak mau ngomong, at least kamu suruh dia pergi. Lumayan ganteng, kaya juga, sayang dilewatin."

Aku mendengus. "I don't have a plan to catch any handsome guys."

"Yea, kamu boleh sih nggak punya rencana buat 'menangkap' cowok-cowok ganteng itu. Tapi ingat, manusia berencana sementara Tuhan yang menentukan."

_____

"Finally," ujar Wen Junhui sambil beranjak dari sofa begitu mendapati aku keluar dari lift. Dia mengenakan setelan jas berwarna peach dengan kemeja hitam di dalamnya. "Sibuk ya?"

"Kurang lebih, Jun," kataku mencoba tersenyum sesopan mungkin. "Ada apa lagi?"

"Pernikahan anak sulung keluarga Yoon, aku dapat undangan–mereka langganan di Exchange juga sama kayak keluargamu. Aku yakin kamu diundang, jadi, mau berangkat bareng?"

"Jun, maaf, bukannya nggak sopan atau apa. Tapi, kalau aku nggak salah hitung, kita baru kenal kurang dari satu minggu."

"Aku tahu," kata Junhui sambil mengangguk dan mengulas senyum miring–dia sepertinya tahu kalau dia terlihat tampan dengan senyum itu. "Jadi, yay or nay?"

"Jun–"

"Ikut aku sebentar," potongnya sambil menarik tanganku keluar dari gedung perkantoran melewati pintu kaca. Aku terkejut, pun dengan belasan orang di lobi yang menatap kami penasaran.

Cowok itu berheti di dekat sebuah sedan mewah, mengeluarkan kunci dari saku celananya, membuka pintu belakang dan menelengkan kepala–memintaku masuk ke dalam sana. "Please?"

"Jun, ini udah bukan jam istirahat dan aku nggak bisa keluar kantor begitu aja kecuali mau dipecat," kataku yang mulai kesal. Suasana hatiku sedang kurang baik karena Jeonghan sudah mulai cuti dan Lila tampaknya menyukaiku. Maksudnya, menyukaiku hingga melimpahkan beberapa pekerjaan Jeonghan kepadaku. Dan segala hal tentang Wen Junhui ini sedikit melelahkan.

"Good. Kalau dipecat, kamu bisa pindah ke Exchange. Kebetulan aku lagi cari manajer promosi digital. Cocok buatmu, aku jamin kamu diterima tanpa wawancara."

Aku menghela napas, menyentakkan tangan kananku sampai pegangan Wen Junhui terlepas. Dia terlihat luar biasa terkejut.

"Jun, aku benar-benar minta maaf tapi aku sibuk dan jujur aja aku merasa terganggu. Pertama, kamu bilang ke seantero Higher Records hari ini kalau aku pacarmu padahal bukan. Kedua, kamu maksa aku yang notabene adalah orang asing. Sekali lagi maaf, Jun, tapi aku harus pergi," kataku sebelum berbalik dan berniat melangkah pergi meninggalkannya.

Sialnya, Wen Junhui ini begitu cekatan. Hanya dengan satu tarikan di pundak kiri, aku sudah kembali menghadap ke arahnya–bahkan nyaris menabrak tubuhnya yang sempurna.

"Can you sit next to me? I need your help ... right now."

_____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_____

Kkkkkkkk. Aku bilang mau take a break sebelum masuk ke bagian Junhui tapi sendirinya juga gak sabar mau publish. Dan, aku merinding dong setelah semalam publish spoiler tiba-tiba hari ini ada pengumuman Jun solo album.

Pusing, Wen. Tapi, makasih banyak! Kamu bekerja keras tahun ini. Semoga sehat selalu <3

And, let me see –seberapa banyak yang nungguin Jun nongol di Seventeen Imagine? 

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang