Rumah masih kosong.
Mama sempat meneleponku beberapa menit lalu dan bilang kalau mereka akan berhenti di rumah makan—Yena dan Yuqi sudah mulai berisik karena kelaparan. Mama juga tanya apa aku dan Seokmin sudah makan, atau minta dibawakan sesuatu dari rumah makan yang sama.
"Kamu capek banget atau gimana? Kok lemes gitu dari tadi?" tanya Seokmin yang baru saja menyamai langkahku masuk ke dalam rumah—tangan kirinya yang bebas mengacak rambutku lembut.
"Iya, sedikit," jawabku sambil mengulas senyum tipis. "Kopermu yang satu masih di kamar Chan? Bawa ke kamarku aja ya, aku packing sekarang biar besok langsung berangkat."
Dia mengangguk dan berlalu ke arah kanan—masuk ke kamar tamu yang ditempati sepupuku sementara aku masih berjalan lurus menuju kamarku yang ada di bagian belakang lantai satu, dekat ruang makan.
Aku membuka pintu dan langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur.
Aku memeluk guling bersarung biru pastel yang ada di tengah-tengah, menenggelamkan kepalaku dan menghirup wangi pelembut kain yang masih menempel di sana. Seprai dan lain-lain memang baru diganti kemarin pagi jadi wanginya masih menempel kuat.
Ceklek.
Aku berbalik, menemukan Seokmin baru saja masuk sambil menarik koper berwarna silver dengan inisial namanya. Dia mengulas senyum—lagi.
"Tidur aja, Sayang."
Aku mengernyit—menatap Seokmin sebelum pecah dalam tawa. "Sayang? Cringe!"
"Kenapa sih dari dulu nggak pernah mau dipanggil sayang?" tanya Seokmin, yang baru saja bergabung denganku di atas tempat tidur dan memelukku dari belakang. "Padahal bagus."
"Apa? Sayang?"
Dia mengangguk—aku bisa merasakannya karena dagunya bergerak mengenai pundakku. "Kamu mau langsung dipanggil 'ibu' ya?"
"Kamu mau langsung punya anak?"
"Ya kenapa enggak?" Dia terkekeh sebelum mendaratkan satu kecupan lembut di pundak kananku—ah. "Kamu suka anak kecil, aku juga. Dari pada lama-lama, nanti keburu bosen."
"Oh, jadi kamu punya niat buat bosen sama aku?"
"Bukan gitu," sergahnya sambil mengeratkan tangannya yang melingkar di perutku. "Nanti kalau kelamaan, kita terlalu menikmati waktu berdua malah jadi nggak pengin punya anak."
"Bisa diatur," kataku sambil memutar tubuh—menghadapnya. Jidatku mengenai hidungnya yang luar biasa mancung, dan dia tertawa. "Ini lagi, kenapa sih tajem banget."
"Katanya dulu suka sama aku karena ini?"
"Iya sih, sama ini juga," jawabku sambil menunjuk mata kanannya dengan telunjuk kiriku. "Kamu ganteng, lucu, suaranya bagus. Kalau kamu, kenapa mau sama aku?"
"Nggak tahu, katanya cinta nggak butuh alasan."
Aku tertawa pelan dan dia menunduk untuk mencium bibirku cukup lama—menarikku semakin rapat.
"Kak mau ma—TANTE INI KENAPA SIH BERDUA KOK MASIH SORE UDAH ENAK-ENAK?"
Aku sontak memejamkan mata lebih rapat dan menyembunyikan wajahku dalam lekukan leher Seokmin—untuk kedua kalinya dalam satu hari. Seokmin terkekeh—menepuk-nepuk kepalaku sebelum beranjak dari tempat tidur.
"Yena, besok lagi kalau mau masuk kamar orang ketuk pintu dulu ya," ujarnya sambil tertawa pelan.
_____"Seokmin, flight jam berapa sih besok?" Aku bertanya sambil menggulung pakaian agar muat masuk ke dalam koper sementara Seokmin berbaring di atas tempat tidur, baru selesai menelepon Mingyu. "Yang anter ke bandara jadinya Lucas atau Sam?"
"Tadi Lucas udah bilang oke, jadi Lucas yang anter. Jam delapan dari rumah, flight jam sepuluh."
"Okay."
"Belum selesai packingnya? Aku bantu—hm?"
"Tinggal tiga potong kaosmu ini, terus kelar, santai aja."
"Okay, aku tunggu."
"Tunggu apa? Tidur? Duluan aja nggak apa-apa, masih mau cuci muka, gosok gigi, dan lain-lain."
"Bukan itu, ada yang mau aku omongin sama kamu—penting."
Aku menghentikan aktivitas menggulung baju dan mendongak, Seokmin sudah duduk bersandar di headbed—menatapku sambil tersenyum tipis.
"Soal ... apa?"
"Itu ... packing-nya dikelarin dulu aja. Tinggal sedikit kan?"
"Hmm—oke."
Aku menurut dan kembali menunduk—melesakkan gulungan kaos berwarna biru dongker ke dalam koper. Tiga detik kemudian, ponselku yang berada di lantai—di sebelah kiri koper—menyala.
Ada satu pesan masuk dari—sebentar, dari Yoon Jeonghan?
Yoon Jeonghan
sent a picture
Open | Dismiss
Aku melirik Seokmin, dia sudah kembali fokus menatap layar ponselnya dalam keadaan lansekap. Menonton film—huh? Atau bermain game?Aku mengetukkan jari di atas kata Open dan mataku melebar melihat gambar yang dikirim kurang dari satu menit lalu.
Itu gambar Seokmin yang—kurasa—diambil kemarin saat pesta pernikahan. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja biru pastel di dalamnya.
Nggak ada yang salah dengan itu.
Tapi, dia bersama seorang cewek. Berambut panjang dengan gaun abu-abu selutut. Cewek yang sama dengan yang kulihat kemarin—yang katanya nggak mungkin ada di sana. Mereka ... bergandengan—huh?
Aku mendongak dan sepasang mata kami bertemu.
Dari sana, aku tahu kalau Choi Yuna memang datang kemarin—dan Seokmin sudah berbohong padaku.
Entah apa alasannya.
_____Wkwkwkwk 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanficBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...