Hoshi - Workaholic [6]

9.5K 1.1K 193
                                    

"Aku mau dengerin sekarang," kataku begitu Soonyoung selesai membaca berita yang kutunjukkan barusan. "Aku janji nggak akan interupsi, nggak akan marah, nggak akan pergi. Tapi kamu cuma harus jujur. Separah apa pun itu. Kamu tau kan, selain komunikasi, kejujuran itu penting buat sebuah hubungan—apalagi pernikahan."

Soonyoung bangun tidur. Dia pasti masih bingung—nyawanya belum ngumpul dan udah harus ngehadapin aku yang nuntut penjelasan macem-macem. Belum lagi dia barusan cek handphone juga, ada puluhan panggilan tak terjawab dan mungkin ratusan pesan masuk. Dari Jihoon, dari CEO-nya, dari jurnalis, dari stafnya, dari teman-temannya, dari Green—Hwang Eunjin.

Soonyoung menelan ludah, menyibak rambutnya ke belakang, dan mengusap wajahnya kasar.

"Tahun baru kemarin, kamu inget kan aku nggak pulang setelah perayaan sama kantor?"

Aku mengangguk. Aku pergi menghabiskan sisa tahun 2017 dengan Minkyung, Sejeong, Doyoung, Ten karena Soonyoung ada acara di kantornya dan baru pulang tanggal 1 jam 12 siang—aku ingat.

"Aku sama Eunjin."

Rasanya mau pingsan.

Soonyoung menatapku, memerhatikan, seolah memastikan aku nggak akan memakinya atau lebih parah lagi langsung melompat keluar jendela karena pengakuannya. Tapi aku perlu jujur, hatiku rasanya sakit luar biasa. Berbagai macam kemungkinan tentang apa yang mereka lakukan berkelebat di kepalaku dan aku berusaha sekuat tenaga supaya nggak menangis sekarang—susah. Seperti yang kubilang tadi, saking lemas dan sakitnya, rasanya aku mau pingsan.

"Bilang aja. Aku nggak pa-pa," kataku akhirnya karena Soonyoung tetap diam, seperti nggak ingin melanjutkan.

"Aku dulu yang mulai karena aku tiba-tiba ngerasa capek dan bosen—bukan sama kamu." Soonyoung menambahkan tiga kata terakhir dengan cepat begitu aku menarik napas dalam-dalam. "Capek dan bosen sama kerjaanku. Aku butuh pelarian dan kamu jauh—sama Doyoung dan lain-lain, entah berapa kilometer jauhnya dari aku."

Rasanya makin susah bernapas. Rasanya ... ada sesuatu yang tiba-tiba remuk di dalam sana.

"And what was that?" tanyaku setelah menimbang konsekuensinya beberapa saat. "What did you do?"

"A kiss."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "On lips?"

"...on lips." Soonyoung menunduk. "Dan ... somewhere else."

Pandanganku mulai mengabur. Aku tahu air mataku bakal jatuh dalam satu kedipan mata. Kenapa, Soonyoung?

Aku benar-benar speechless. Aku nggak tahu mau ngomong apa lagi. Aku yang minta dia jujur tapi aku juga yang kesakitan sekarang. Aku tahu, foto-foto yang Soonyoung tunjukkan tempo hari itu, bukan foto-foto malam tahun baru. Itu berarti, mereka nggak cuma melenceng sekali. Mereka pasti sudah melenceng berkali-kali di belakangku.

"Lain ... nya?" tanyaku sembari mengulurkan tangan kanan, mengangkat dagu Soonyoung agar dia menatapku. Dia menangis tanpa suara, wajahnya memerah dan basah. "Aku tau bukan cuma sekali, Soonyoung."

Sekarang, tangisnya benar-benar pecah. Suaranya memenuhi kamar dan dia nyaris tersungkur menabrak lututku kalau saja aku nggak cepat menahan tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukanku.

Soonyoung balas memelukku erat, tergugu di ceruk leherku. Air matanya membasahi bajuku, mengalir di sana dan dia berkali-kali mengucap maaf. Kalau pengakuannya tadi membuat hatiku patah, melihat dia menangis separah ini justru membuat hatiku hancur.

Aku merasa kehilangan Soonyoung yang banyak tertawa, sering menggoda, dan super humoris. Aku nggak tahu—apa dia bisa kembali jadi dirinya yang dulu di depanku setelah semua ini? Setelah hari ini? Dia pasti akan jadi orang yang lebih hati-hati dan ... yeah, aku nggak tahu.

Aku masih memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya supaya dia berhenti menangis karena tangisannya benar-benar menyakiti hatiku. Aku mengusap rambutnya dengan lembut, sesekali mencium puncak kepalanya. Sulit untukku memberi maaf secara verbal, jadi kuharap dia tahu aku memaafkannya dengan bahasa tubuhku.

Aku kecewa—sangat. Tapi aku mungkin sama saja seperti Soonyoung yang dikatakan Minkyung kemarin—bisa mati kalau harus dipaksa pisah. Aku cinta dia—banget. Aku nggak bisa membiarkan dia pergi. Melepas Soonyoung sama dengan membiarkan Eunjin menang—mengalahkanku. Aku nggak mau.

Yang paling penting, ada orang lain di antara aku dan Soonyoung sekarang—kami punya bayi yang harus dirawat sampai dia lahir dan dibesarkan dengan baik. Aku nggak bisa egois. Nggak bisa. Bahkan kalau pun nanti Soonyoung membandel dan kembali dengan Eunjin, aku harus tinggal untuk dia kan?

Soonyoung melonggarkan pelukannya, memundurkan tubuhnya dan mengusap pipiku dengan punggung tangannya—aku mengulas senyum tipis dan melakukan hal yang sama.

"Kalau kamu nggak bisa bilang, nggak pa-pa," kataku dengan kedua tangan masih di pipinya. Dia tembam, lucu—senyumku melebar. "Mulai hari ini, kamu harus jujur sama aku dan—yeah, kamu tahu aku pasti bakal datang kemana pun kamu minta aku, Soonyoung. Jadi, please, tolong jangan main-main lagi."

Dia mengangguk, kemudian memelukku lagi sekilas.

"Aku minta maaf. Aku salah. Aku nggak akan bikin pembelaan apa pun. Kamu berhak ngapain aku sesukamu sekarang," kata Soonyoung dengan suara parau—pecah super. "Kamu boleh tampar, pukul, jambak, ten—"

Dasar cerewet.

Aku menghentikan barisan kalimatnya dengan mencium bibirnya. Efektif membuat Soonyoung diam karena kata-katanya barusan justru menambah pusing kepalaku.
_____

Aku pergi mandi setelah memesan makan malam sementara Soonyoung sibuk menelepon orang-orangnya. Aku nggak tahu apa yang dia bahas, apa yang dia katakan, apa yang akan dia lakukan untuk meredam beritanya.

Aku mau coba nggak peduli dan nggak terlibat langsung. Aku nggak mau berurusan dengan jurnalis dunia entertain—mengerikan kalau membuat gosip. Soonyoung harus menyelesaikan kekacauan yang dia buat dan aku tinggal mendengar berita baiknya.

Kepalaku masih pusing dan aku bingung karena mendadak mual mencium wangi sabun lavendel yang biasa kugunakan untuk mandi. Untung Soonyoung punya stok sabun apel di loker kamar mandi.

Aku menikmati hampir setengah jam berendam di dalam bathtub. Lumayan—masih capek sih, kurasa karena pikiranku yang masih kacau. Tapi yeah, lumayan.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku begitu keluar dari kamar mandi dan melihat Soonyoung mengenakan mantelnya dan menggenggam kunci mobil.

"Aku dipanggil Jihoon—ke kantor."

"Sekarang?"

Soonyoung mengangguk. "Sorry, I'm trying my best—oke? Aku bakal langsung pulang kalau semuanya kelar. Kamu kalau capek tidur aja, nggak usah tunggu aku—ya?"

Dia berjalan mendekatiku, merengkuhku ke dalam pelukannya sebentar dan mencium puncak kepalaku. "Aku sayang kamu."

Aku mengangkat bahu. "Hati-hati."

"I'll be home—soon," katanya sembari berjalan ke luar dan menutup pintu dan aku mendengus kecewa.

Jadi, aku makan malam sendirian lagi?

Atau mungkin ... enggak?
_____

Kelar? Oh, tentu tidak~ 😂🤣

QotD: Gantian deh kalian yang nanya. Apa aja, soal cerita boleh, soal aku boleh. Aku gabut, nanti aku balesin satu-satu wkwk 💋

TRIVIA: AKU NANGIS PAS NULIS ADEGAN PENGAKUAN—SET, SUMPAH HATIKU RASANYA KAYAK KEBARET-BARET GITU. SAKIT. HAHAHA 😭

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang