Hansol - Offbeat [10]

4.5K 697 231
                                    

"Gue cuma iseng curhat sama sepupu kalau bosan sama lo dan tiba-tiba aja dia udah set tanggal untuk blind date." Hansol berujar lirih yang membuat gue bernapas berat—sakit. "Elena udah meluangkan waktu makan siangnya, ya udah gue berangkat semata untuk menghargai aja."

"Dan berakhir dengan lo nyaman sama dia," gue melanjutkan apa yang mungkin Hansol tahan untuk menjaga perasaan gue yang telanjur remuk. "Hansol, gue happy kok. Cukup merasa diperhatikan, disayang, bahkan dicintai—hal yang termasuk mewah buat gue. Tiga tahun sama lo kadang gue merasa hidup di dalam mimpi—dan layaknya mimpi pada umumnya, gue harus bangun."

"Hei," Hansol menahan gue dengan tatapan matanya yang tajam—menusuk bahkan hingga ke dalam hati gue yang lagi dalam mode lemah. "Semudah ini lo memutuskan buat menyerah sama gue?"

"Karena semudah itu juga lo memutuskan untuk mengkhianati ketulusan gue."

"Gue minta maaf."

"Gue maafin."

"Jadi?"

"Gue maafin, Hansol. Tapi gue nggak bisa melanjutkan apa yang udah kita mulai tiga tahun lalu." Sial, suara gue bergetar dan Hansol pasti menyadarinya karena mata kirinya menyipit. "Ya, that's it. We're over."

"Hei, gue bahkan udah blokir semua kontaknya—gue hapus semua. Gue tahu yang kemarin salah dan—"

"Lo melukai dua cewek sekaligus kalau begitu," potong gue. "Pernah dengar? Kalau hati lo mulai terbagi, lo harus pilih yang datang belakangan."

"The reason?"

"The second one will never success break the door if the owner of the house didn't let her. Kalau lo sayang gue, lo nggak akan membiarkan cewek manapun masuk, Hansol." Gue menarik sudut bibir kanan sedikit ke atas sambil mengangkat bahu. "Udah ya? Gue harap ... ini terakhir kita ketemu kecuali tanpa sengaja. Gue butuh waktu untuk sepenuhnya lepas dari lo."

"Please—"

"No more." Gue menggeleng. "And please let them know that I'm not your girlfriend anymore—mama and Hangyul, I mean."

Gue sudah menyandang ransel dan paralon berisi beberapa lembar kertas ukuran A0 saat Hansol menarik ujung hoodie gue, memaksa gue kembali duduk.

"Ini bukan kali pertama kita berantem, kan? Bukan kali pertama juga lo minta putus. Can we—"

"No, Hansol." Gue menggeleng sembari mendudukkan tubuh. Demi Tuhan, untung kafenya nggak begitu ramai. "Alasan kita sering ribut sebelumnya mostly karena lo sembarangan ngomong dan nggak sengaja menyakiti hati gue. Kali ini bukan itu, lo paham kan? Kali ini tentang hati lo—dan nggak ada yang namanya orang selingkuh tapi nggak sengaja."

"Tapi—"

"Serius, gue bisa nangis beneran kalau lo tahan gue lebih lama," kata gue. "Gue pergi, Hansol. Please enjoy your life."

Gue kembali bangkit dan melangkah cepat menuju pintu untuk menghidup udara bebas kuat-kuat. Berhasil menahan diri untuk nggak menangis dan memaki Hansol dengan kata-kata kasar adalah sebuah prestasi meskipun pada akhirnya gue tetap kelepasan menyebut kata "selingkuh". Gue berusaha menghindarinya karena menurut penuturan Hansol, mereka enggak (atau belum) pacaran. Tapi ternyata mulut gue nggak mau berkhianat—haha.

Gue melirik jam tangan pemberian Hansol yang masih melingkar dengan manis di pergelangan kiri. Sudah benar-benar terlambat untuk kelas Profesor Everdeen. Daripada gue kena amuk, rasanya lebih baik gue menemui teman-teman lainnya.
_____

Gue sering bertanya-tanya, apa mungkin di kehidupan sebelumnya gue adalah seekor merpati yang hidup bersama dengan kawanan ini ya? Karena tiap kali merasa kesepian, sedih, atau hari gue berjalan dengan buruk, sepasang kaki ini selalu membawa gue melangkah menuju taman kampus untuk melihat mereka berebut makanan yang ada di tangan gue—sekaligus curhat.

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang