Gue sampai nggak memperhatikan depan saking sibuknya merogoh kunci asrama dari dalam saku jaket begitu lift terbuka. Suasana hati gue sudah membaik–thanks to Mark Lee for a cup of ice cream and his incredible jokes. Sialnya–atau nggak–begitu kunci ditemukan dan gue mendongak, mata gue menangkap keberadaan Hansol Vernon Chwe bersandar di sebelah pintu unit kamar gue.
"Lo ... ngapain?" tanya gue, urung membuka pintu dan malah mengamati Hansol. Sedetik kemudian baru ingat kami sudah putus. "Ngapain di sini–maksud gue."
"Memastikan lo pulang dengan selamat," jawabnya sembari mengulas senyum tipis yang justru membuat hati gue serasa diiris. "Gue senang lo aman sampai sini. Gue pulang dulu kalau gitu. Lo hati-hati, Kayla belum pulang. Jangan lupa ... makan."
Gue mengernyit.
Hansol baru saja pamit tapi kakinya nggak bergerak satu langkah pun. Gue yang berniat masuk ke dalam unit jadi merasa canggung. "Kalau ada yang mau lo omongin lagi, gue tungguin. Kalau nggak, buruan pulang–udah malam."
"Gue ... mau tanya tapi please jangan marah?"
"Apa?"
"Cowok yang tadi sama lo itu ... cowok yang sama kayak waktu gue pulang dari Korea kan?"
Gue menelan ludah dengan sedikit gugup karena Hansol tahu gue pergi dengan Mark tadi. Kenapa rasanya semacam ketahuan selingkuh padahal gue sudah putus? Gue mengangguk. "Yes, and we're just friend–just in case lo penasaran. Different kind of friend ya–nggak kayak lo dan cewek itu."
"Gue juga nggak pacaran sama dia," Hansol menghela napas lelah. "Gue tahu gue salah karena sempat suka sama dia dan bohong sama lo soal hari itu. Tapi ... gue sayang lo."
Jantung gue.
Kenapa, sih, organ tubuh satu ini selalu berkhianat terhadap kemauan gue untuk bersikap cuek dan move on secepat yang gue bisa?! Gue juga sayang Hansol tapi gue nggak terima dengan apa yang sudah dia lakukan sama gue. A fcking blind date?!
"Pulang sana," kata gue sembari mendekat ke arah pintu dan mengulurkan kunci ke tempatnya. Hansol mundur selangkah. "Nggak usah ke sini lagi. Tempat ini nggak cocok buat orang kayak lo–apalagi penghuninya."
"Gue nggak suka kalau lo menganggap diri lo begitu cuma karena materi," ujar Hansol tepat di telinga kiri yang membuat gue nyaris terlonjak kaget. "Please stop comparing us. I don't want to make you feel insecure or whatever."
"Lo yang bikin gue merasa begitu," jawab gue setelah mengurungkan niat untuk membuka pintu. "Lo tahu apa yang gue pikir kemarin waktu lihat lo sama cewek itu? Ah, it looks like Hansol needs a better girlfriend–yang lebih dewasa, yang udah kerja, yang mapan, yang cantik, yang bisa dandan, yang nggak nyusahin, yang nggak malu-maluin, yang seta–"
Omongan gue terputus lantaran Hansol baru saja menenggelamkan gue ke dalam pelukannya sampai kepala gue bisa bersandar dengan nyaman di bahu kanannya. Air mata gue meleleh sedetik kemudian–begitu merasakan usapan lembut tangan Hansol di punggung gue.
"You," bisik Hansol pelan. "Are the only girlfriend that I need."
"Tapi gue–"
"Gue nggak peduli," potong Hansol cepat–sementara kedua lengannya mempererat pelukannya pada tubuh gue. "Gue minta maaf dan janji bakal berusaha lebih keras kalau lo kasih kesempatan lagi. Setelah lihat lo jalan sama Mark dan ketawa lepas seolah nggak ada beban kayak tadi, gue ... cemburu. Gue ngerasa sakit, dan gue tahu apa yang lo rasain hari itu."
Hansol melepaskan pelukannya, memberi jarak beberapa sentimeter di antara kami supaya bisa melihat wajah gue dengan jelas. Gue memalingkan wajah ke arah lain karena tahu betapa jeleknya muka gue kalau lagi nangis. Sampis.
"Hei," ujar Hansol sembari mengguncang bahu gue pelan. "Lo dengar kan apa yang gue bilang barusan?"
"But, you told me before that you like her." Gue menoleh, menatap lurus ke dalam mata Hansol. "Lo bilang sama gue lo suka sama cewek itu. Waktu ngomong gitu, lo nggak mikirin perasaan gue apa?"
"Gue mikir dan menarik kesimpulan kalau lebih baik lo terluka sekarang daripada gue bilang enggak and you found out later." Hansol mengulas senyum tipis. "Gue pikir, sekalian aja lo marah sama gue sekarang daripada nanti lo marah lagi ketika tahu."
"Lo beneran suka sama dia?"
Hansol mengangguk. "Sebentar, please don't judge. Gue beberapa hari ini mikir how to tell you properly dan baru ketemu jawabannya setelah lihat lo sama cowok itu tadi. Dengar, ini bukan pembelaan tapi gue akan mencoba bilang apa yang ada di pikiran gue."
Gue diam dan menunggu Hansol melanjutkan.
"Pertama kali ketemu, posisi gue memang lagi bosan sama lo. Kita jarang ketemu karena nggak ada waktu yang pas. Giliran lo nggak ada kelas pas makan siang, gue ada meeting. Giliran gue free, lo kelas pengganti. Sore atau malam kita berdua sama-sama capek dan lebih milih istirahat daripada sekadar pergi makan. Begitu terus sampai hampir satu bulan." Hansol memulai dan otak gue mulai bekerja untuk mengingat kira-kira kapan sih waktu yang disebutkan ini. "Kadang chat gue juga nggak lo balas karena udah tidur."
Gue mau memprotes karena terdengar seolah dia menyalahkan ketiduran gue tapi urung begitu tatapan Hansol berubah lebih tajam.
"Gue nggak menyalahkan lo ketiduran. Gue cuma ... nggak bisa begitu terus. Gue butuh ketemu sama lo karena semangat hidup lo itu kadang nggak sengaja menular ke gue kalau lagi capek. Tiap urusan kerjaan bikin gue pusing, cukup dengan lihat lo gue ngerasa bersemangat."
"Gue rasa ini bukan waktu yang tepat buat ... gombal."
"Well, I'm not." Hansol menggeleng dan tertawa pelan. "Gue serius. Karena lama nggak ketemu sama lo, gue benar-benar bosan. Gue capek dan berujung ngeluh sama sepupu gue. Waktu ketemu Elena untuk pertama kali, gue merasa kembali bersemangat karena dia baik dan perhatian–ceria juga."
"Yeah."
"Gue suka sama dia."
"Can you–"
"Dengar dulu." Hansol mengulurkan tangan untuk menepuk puncak kepala gue dengan lembut sebelum melanjutkan. "Gue suka sama dia karena kepribadiannya dan gimana dia bisa bikin gue semangat lagi setelah beberapa hari. Tapi, ya udah. Gue nggak kepikiran tuh untuk bawa dia ke hubungan yang lebih. Karena begitu kita balik lagi bisa set the time buat ketemu, gue tahu kalau gue sayang sama lo–dia lenyap dari pikiran gue."
"So?"
"Ya gue sekadar nyaman sama dia sebagai teman ngobrol–kayak lo dan Mark Lee."
"Gue sama Mark enggak ketemu di blind date, Hansol."
"Gue pikir, gue sama Elena cuma perasaan sesaat aja. Lo ngerti kan? Gue tertipu semacam ilusi perasaan. Gue kira gue suka sama dia tapi nyatanya nggak begitu."
"Lo nggak merasa kasih harapan palsu sama dia? Kalian ketemu di blind date dan semua orang juga tahu tujuan blind date itu apa. Cari teman? Jelas bukan."
"Gue udah jelasin sama dia kalau gue punya pacar dan dia okay. Dia nggak masalah sama itu."
"Kapan? Tadi setelah kita ribut-ribut?" tanya gue dan Hansol mengangguk. "It's too late. Gue pikir lo nggak akan menjelaskan sama dia kalau gue nggak tahu dan sampai minta putus begini. Iya kan? Kalau gue nggak marah lo mungkin masih tetap berhubungan sama dia entah sampai kapan."
Hansol diam.
"Niat lo dari awal udah jahat." Gue berbalik kembali menghadap pintu untuk masuk ke dalam unit. "Oh, dan lo bohong lagi dong sama gue?"
Hansol mengernyitkan dahi menatap gue.
"Lo bilang udah blokir dan hapus semua kontaknya. Jadi, gimana lo bilang sama dia? Lo unblock? Ketemu langsung ya? Lo kalau mau ngarang cerita, dibuat dulu outline-nya biar nggak blunder dan bikin gue bingung karena muter-muter."
_____
I have something to do after maghrib, something you called as kondangan wkwkwk jadi gimana? Masih
#TimPutus
atau masih
#TimBalikan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...