"Benar juga," aku mengangguk paham sementara Jun tengah menyesap kopinya di seberang meja. "Mimpi-mimpi itu baru mulai datang setelah kejadian malam Natal. Aku selalu berusaha bersikap biasa dan merasa baik-baik aja tapi nyatanya enggak. Kejadian itu traumatis dan tanpa sadar mengganggu alam bawah sadarku."
"Sekarang udah ngerasa lebih baik? Atau sama aja?"
"Lebih baik," jawabku jujur. "Dokter Hwang bilang, ini bisa sembuh. Mimpi-mimpi buruk itu bisa berkurang intensitasnya, atau bahkan sama sekali hilang seiring dengan berjalannya waktu. Physically, aku udah bisa mengatasi rasa trauma itu. Maksudnya, aku nggak lagi menghindar kalau ada cowok mendekat ... bahkan aku punya kamu sekarang. Tapi–kenapa ketawa?"
Aku menanyakan kalimat terakhir karena Jun baru saja mengangkat tangan kanannya untuk menutup mulut. Tapi, aku bisa tahu dia tertawa dari matanya yang mulai menyipit seperti kucing.
"Aku punya kamu sekarang?" tanyanya. "Apa tuh maksudnya?"
"Pacaran–aku," kataku sambil menjulurkan lidah. "Iya kan?"
"Tapi, pacaran itu soal rasa. Ikatannya batin, nggak bisa disebut physically. Physically itu contohnya ... kamu nggak menghindar kalau aku pegang tangannya, kalau aku rangkul pundaknya, kalau aku peluk, kalau aku cium–"
"Sssssst," potongku sambil melirik ke kanan dan kiri. "Tempat umum, Jun, malu ah masa bahas ciuman."
Jun tertawa pelan sebelum menegakkan duduknya dan menengok cangkir kapucino panas milikku yang sudah tandas sejak lima menit lalu. "Udah habis kan? Pindah ke tempat khusus yuk biar nggak malu bahas ciuman."
"Enggak mau," tolakku buru-buru sambil memicingkan mata dan mengerucutkan bibir. "Aku masih mau di sini."
"Sampai jam berapa? Udah hampir tiga jam, lho. Kamu harus istirahat," ujarnya lembut. "Lusa udah mulai balik kerja kan? Atau mau resign aja sekalian?"
"Jangan, dong. Masa resign, sih. Aku suka banget sama kerjaan ini, Jun, meskipun kalau pas deadline segunung ya capek banget." Aku menghela napas panjang sebelum kemudian mengangguk karena Jun masih menatapku. "Ya udah, ayo pulang."
"Nah, gitu dong. Kalau nurut kan enak, buat kamu juga," katanya sebelum memutar tubuh untuk mengambil mantel cokelat yang ia sampirkan di sofa. "Pakai ini ya, gerimis."
Kepalaku otomatis menoleh ke arah jendela begitu Jun menyebut 'gerimis'–sekadar untuk memastikan ucapannya. Dan tentu saja dia berkata jujur. Apa gunanya juga mengarang soal hujan.
Tapi, aku sudah mengenakan kaos tebal yang dilapisi turtle neck rajut dan mantel panjang berwarna biru pastel. Sementara Jun hanya mengenakan sweater hitam kalau dia meminjamkan mantelnya padaku.
"Kamu aja yang pakai, aku kan udah," tolakku sambil beranjak dari sofa. "Di depan café biasanya ada keranjang payung. Kamu antar aja aku sampai mobil, balikin payungnya, baru balik ke mobil lagi. Ini dingin banget, kalau kamu lepas mantelnya, kamu bisa menggigil."
"Okay," Jun mengangguk. Alih-alih memakai, Jun memilih untuk menyampirkan mantelnya begitu saja. Tangan kanannya terulur ke arahku. "Sini, pegang tanganku biar hangat."
Aku mengernyit.
Jun memanfaatkan jeda sedetik barusan untuk menyisipkan jarinya di antara milikku, menggandengku pergi dari kedai kopi yang hanya berjarak tiga blok dari Exchange.
"Katanya di luar dingin. Tahu, kan, kalau kulit manusia ketemu kulit manusia bisa bikin hangat? Nggak mungkin aku cium kamu sepanjang jalan, jadi ayo gandengan aja."
_____"Aku harus balik ke Exchange," Jun menarik tuas rem sebelum menggunakan kedua tangannya untuk menangkup tangan kananku–menggenggamnya erat. "Ada meeting bahas menu baru untuk bulan depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...