Minghao - Living in Memories [10]

2.8K 497 22
                                    

Konsentrasiku terpecah hebat antara memperhatikan dosen di depan dan memikirkan ucapan Kak Minghao beberapa waktu lalu. Setelah aku kepergok memperhatikan dan dia mengucapkan satu kalimat di luar dugaan, suasana di dalam mobil berubah hening. Aku merasa luar biasa canggung sementara dia tetap diam–nggak merasa perlu menjelaskan sesuatu.

Jangan lihatin aku terus–grogi.

Kenapa juga dia harus grogi karena aku memperhatikannya? Dan, kenapa juga aku memperhatikannya?! Bodoh, sejak kapan aku punya minat pada side profile seseorang sampai asyik menikmati dan nggak sadar kalau si pemilik wajah menyadarinya?

"Kamu lagi mikir apa sih?" bisik Kyulkyung pelan. "Berisik, dari tadi ketuk-ketuk pulpen terus. Mister El ngelihatin kamu lho, dari tadi."

"Hah, sumpah?" Aku menoleh, menatap Kyulkyung yang mengangguk dengan hati-hati sebelum kembali memperhatikan ke depan. Mataku bertubrukan dengan sepasang mata gelap Mister El.

"Are you okay?" Mister El bertanya, membuat seisi kelas menoleh untuk menatapku. "Kamu nggak memperhatikan materi saya dari tadi. Kamu sakit dan butuh istirahat atau apa?"

Aku menggeleng, mengulas senyum tipis sebelum menunduk kecil meminta maaf. "Saya baik-baik saja. Maaf, Mister."

"Okay. Kamu bisa ijin meninggalkan kelas saya kalau memang butuh istirahat. Tapi karena kamu bilang baik-baik saja, bisa kita lanjutkan kelas hari ini?"

Aku mengangguk, memutuskan untuk kembali menaruh perhatian penuh pada dosen muda super tampan ini. Urusan Kak Minghao ... mari kita tunda sampai setidaknya pulang kampus nanti.

_____

Kelas sudah sepi. Kyulkyung menggandeng lenganku dan kami berjalan beriringan meninggalkan kelas sebelum sebuah kejutan–yang sebenarnya nggak begitu mengejutkan bagiku–menunggu kami berdua. Xu Minghao dan temannya, Kim Mingyu.

"Kak Mingyu ngapain di sini?" tanyaku pada sosok jangkung Kim Mingyu yang tampaknya baru saja mengecat rambutnya menjadi cokelat gelap. "Gabut ya?"

"Jemput orang juga. Emangnya Minghao aja yang boleh jemput cewek di kelasnya?" Kak Mingyu balik bertanya sembari tertawa kecil. "Pink, pulang atau makan?"

Aku membelalak begitu menyadari siapa yang dijemput Kak Mingyu. Dan–apa yang dia sebut barusan? Pink? Pinky? Kyulkyung?!

"Terserah," jawab Kyulkyung yang baru saja melepaskan lengannya dari tanganku dan berjalan menghampiri Kak Mingyu. "Makan boleh, pulang juga nggak masalah."

"Kalian ... sejak kapan dekat?"

Kak Mingyu tertawa puas karena berhasil mengerjaiku–sialan memang. "Rahasia, dong. Nanti kalau kamu udah pacaran sama dia baru aku kasih tahu."

Satu pukulan keras mendarat di lengan kirinya–berasal dari kepalan tangan kanan Kak Minghao. "Kamu udah tahu kan kalau semua yang keluar dari mulutnya itu nggak perlu dipikir beneran? Ayo, pulang."

Aku melempar tatapan mengancam pada Kak Mingyu dan menepuk lengan Kyulkyung pelan sebelum berjalan mengikuti Kak Minghao.

Langkahnya lebar dan cepat, aku cukup keteteran menyamakan langkah dan ... jelas nggak berhasil. Untung dia menyadarinya dan berhenti sebelum berbalik menatapku yang ngos-ngosan karena berusaha terlalu keras.

"Sorry," katanya sebelum mengulurkan tangan untuk meraih tangan–ku? "Sini, nggak usah buru-buru. Aku cuma pengen cepet-cepet jauh dari dia, lagi nggak mood berantem."

Bodohnya, aku nggak menolak dan justru dengan sukarela membiarkan tanganku dalam genggamannya. Dia berjalan lebih lambat sekarang. Jari-jariku ... entah kenapa terasa nyaman dalam genggamannya.

"Kak Minghao lagi badmood ya?" tanyaku pelan-pelan karena takut memancing amarahnya–lagi. "Mau beli es krim dulu?"

Dia menoleh ke kiri dan sedikit menunduk untuk menatapku. "Es krim? Kamu pikir aku anak TK?"

"Ih, es krim bisa bikin mood orang bagus, tahu! Nggak peduli dia anak TK, bayi baru lahir atau kakek buyut," jawabku setengah kesal. Kenapa juga dia harus menghina menu favoritku di dunia ini, sih. "Kalau nggak mau ya udah, pulang."

"Kamu marah?"

"Hm?" Aku masih berjalan dengan tangan kanan dalam genggamannya dan menatap aspal–setengah malu, setengah enggan. "Enggak. Kenapa aku marah?"

"Karena aku bilang anak TK?"

"Nggak, Kak." Aku menggeleng. "Udah, ayo pulang aja. Nanti kesorean."

"Baru juga jam segini." Dia melepaskan gandengannya pada tanganku dan mengecek arloji di tangan kirinya. "Main dulu."

"Ke mana? Kakakku ada di rumah, aku males banget kalau dia tanya macem-macem."

"Dia bakal tanya apa? Aku pacarmu atau bukan? Jawab aja bukan–toh memang bukan." Dia berujar santai sampai nggak menyadari aku baru saja berhenti melangkah. Kalimatnya barusan seakan menamparku cukup keras untuk bangun dari pemikiran kelewat indah yang sempat mampir kala dia memilih untuk menggenggam tanganku beberapa detik lalu. "Kamu–lho, ngapain berhenti di situ?"

Aku menelan ludah kasar sebelum menatap matanya–berusaha menyembunyikan rasa kecewaku. "Kak Minghao pergi duluan aja, aku lupa masih ada urusan. Bye."

Aku berbalik dan setengah berlari kembali menuju area kelas yang sepi. Sepi karena semua orang sudah pulang. Sepi karena 'ada urusan' yang kusebut tadi cuma alasan.

Enggak paham. Aku juga nggak paham kenapa harus merasa kecewa dengan ucapan Kak Minghao tadi. Apa aku memang suka dia dan berharap sesuatu yang lebih terjadi di antara kami? Apa aku benar-benar jatuh cinta pada orang itu–yang jelas masih berusaha bangkit karena baru saja ditinggal pergi? Bodoh namanya kalau aku mengumpankan diri untuk dijadikan pelarian.

Aku duduk di gazebo taman pusat fakultas dan menatap kolam ikan yang sudah nggak ada ikannya–mati karena sering dijahili oleh mahasiswa. Airnya tetap jernih karena petugas kebersihan selalu menggantinya tiap dua hari sekali. Bagus, cukup menarik untuk terus diperhatikan dan mengalihkan perhati–

"Urusanmu ... ngobrol sama air?"

Aku membelalak–entah untuk kali ke berapa seharian ini. Kak Minghao sudah berdiri di sebelah kiriku–dalam naungan gazebo yang sama dan sepasang mata kami bertemu.

"Eng ... nggak. Orangnya yang janjian sama aku belum datang," jawabku asal. Orang yang mana?

"Ya udah aku tunggu sampai selesai." Dia mendudukkan diri di sebelahku dengan santai–sebelum tangan kirinya bergerak untuk merogoh saku kemeja dan mengeluarkan ponsel. "Karena aku udah bilang kakakmu mau anter pulang, aku harus tepatin. Lagipula kampus udah sepi, nanti kalau ada apa-apa nggak ada yang bisa dimintain tolong."

"Kak, nggak perlu."

"Nggak apa-apa, aku juga nggak punya acara lain. Jadi–"

"Kak Minghao bisa nggak, sih, berhenti bersikap aneh sama aku?" tanyaku setengah berteriak–cukup membuatnya terkejut sampai nyaris meloloskan ponsel dalam genggamannya. "Kenapa Kak Minghao tiba-tiba berubah baik segala sampai antar jemput aku setelah berminggu-minggu nganggap aku nggak ada? Apa karena aku mirip mendiang Choi Selin?"

Dia mengerjap pelan sebelum menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku dan menghela napas panjang. Matanya bergerak kebingungan–mungkin nggak siap dengan pertanyaanku yang ... absurd? Duh, kenapa juga aku melontarkan pertanyaan tadi?! Joshua bisa memecatku jadi adik kalau tahu tindakanku barusan–menyedihkan.

Hening.

"Aku ... juga nggak tahu." 

_____

Aku suka menggantung cerita. Ha ha ha.

Apa sih astaghfirullah. Dah, enjoy it, guys 💕

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang