Beritahu aku bagaimana caranya menatap Wen Junhui sekarang.
Dia mengetahui semua yang terjadi padaku di malam itu dari awal sampai akhir. Dia melihatnya dan aku benar-benar nggak tahu apa yang harus kulakukan, atau bahkan apa yang sedang kurasakan.
Marah? Ya.
Aku marah, menyalahkannya, bertanya-tanya kenapa dia membiarkan semua itu dan enggak berusaha menolongku sama sekali. Dia laki-laki, seharusnya bukan masalah membantuku lepas dari dua laki-laki sialan itu.
Malu? Jelas.
Biar ... kuceritakan sedikit soal apa yang terjadi di malam Natal kemarin.
Aku kabur dari rumah karena merasa begitu kesal dengan adik laki-lakiku—Chan, yang terus mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seputar hubungan romantis. Oke, aku tahu ini bukan salahnya, karena dia mungkin saja butuh sedikit pencerahan mengingat umurnya yang memungkinkan untuk menjalin hubungan semacam itu.
Tapi, apa dia lupa kakaknya ini pernah dicampakkan begitu saja oleh seorang cowok bernama Daniel Kang? Ditinggal pergi begitu saja, terang-terangan menggandeng cewek lain di depan mataku, mengataiku dingin, nggak cukup cantik, pasif, kurang hot, dan—semacamnya.
Aku sakit hati dan memiliki semacam trauma untuk menjalin sebuah hubungan. Maka dari itu, aku sama sekali nggak punya rencana untuk menjalin hubungan romantis apalagi menikah.
Dan, karena begitu kesal dengan Chan, aku memutuskan untuk kabur—merayakan malam Natal di luar. Berniat mengajak Chorim waktu ingat kalau dia sudah menikah dan menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya, Jeon Wonwoo dan Jeon Yejun. Berakhir dengan aku pergi ke sebuah kafe dan minum sampai mabuk.
Ya, alasanku menghindari tawaran wine dari Wen Junhui kemarin adalah soal itu.
Jadi, ya, aku mabuk. Berniat pulang, tapi nggak mungkin dalam keadaan seperti itu karena mama bisa saja menangis sampai jatuh pingsan melihatku dalam keadaan kacau.
Saat itu, aku melihat sebuah lampu taman dan memutuskan untuk duduk di sana sebentar. Melihat langit dan menghilangkan efek alkohol yang mengganggu kesadaranku.
Sialnya, harapan memang nggak selalu terwujud. Belum sampai kakiku menginjak rumput taman, sebuah tangan besar menarik lenganku dan tangan lainnya menutup mulutku.
Orang sialan ini membawaku menjauh dari taman, menuju sebuah tempat yang cukup sepi untuk melakukan apa yang kini biasa disebut sebagai sexual harassment.
Dua orang.
Mereka memaksa untuk mencium bibirku, bergantian, dan menyentuh bagian-bagian tubuhku yang nggak seharusnya. Aku mulai menangis waktu menyadari salah satu dari mereka berusaha membuka kancing bajuku.
Tepat saat itu, terdengar suara 'prang' begitu keras dan mereka berlari meninggalkanku.
Sendirian.
Merosot jatuh bersandar pada tembok dengan kondisi berantakan, gemetaran. Dan papa adalah satu-satunya orang yang ada di pikiranku malam itu. Jadi, aku menekan angka satu sedikit lama dan mulai menangis, menceritakan semuanya—tergugu.
_____"Tolong, jangan hindari aku," kata Wen Junhui begitu mobilnya berhenti di pelataran parkir Higher Records. "Aku bilang semuanya bukan supaya kamu pergi."
"Aku nggak bisa," ujarku lirih. "Aku ... nggak bisa, Jun. Aku setengah mati menutupi semuanya, berusaha hidup normal dan mengasingkan diri dari orang lain dan ... kamu muncul begini? Menurutmu aku bisa lihat kamu dan nggak merasa malu? Atau—"
"Kamu ... enggak perlu merasa malu. Aku enggak menganggap kamu harus dihindari atau semacamnya. Justru aku yang seharusnya malu karena menjadi pengecut dengan membiarkan kamu di sana. Dan aku di sini sekarang, merasa harus jaga kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...