"Kak Jihoon."
Aku mengangkat pandangan dari layar iPod dan menemukan Minghao. Tadinya, kukira pacarku yang memanggil. Cuma dia yang panggil aku begitu. Tapi suaranya terlalu emotionless dan berat—dan pacarku nggak ada di sini. Dia sudah pulang.
"Xu Minghao?"
Cowok itu mengangguk. Jujur, aku nggak pernah ngobrol langsung berdua sama dia sebelumnya. Selalu ada pacarku di antara kami.
"Aku boleh duduk?" Dia bertanya, aku mempersilakan. Kebetulan sebelah kanan dan kiriku kosong—jadi, kenapa nggak? Toh dia juga teman dekat pacarku.
Minghao duduk, aku melepas earphone untuk menghormatinya. Sudah satu minggu sejak pacarku pergi, tapi mata cowok ini masih bengkak—Minghao pasti juga kehilangan.
"Aku mau minta maaf, aku nggak bisa jaga dia selama Kak Jihoon pergi. Padahal baru dua hari."
"Bukan salahmu juga. Udah jalan dia buat pulang kok," kataku. "Kamu nangis ya?"
"Aku juga mau minta maaf karena aku sayang sama dia. Lebih dari teman."
Aku diam sebentar. Perasaanku ternyata memang lebih sering benar daripada meleset. "Ya, oke. Nggak pa-pa. Banyak yang sayang dia karena baik orangnya."
"Aku pergi ke studio dance hari itu. Sekaligus beli kado, makanya aku nggak anter dia pulang. Maaf banget, Kak Jihoon."
"Udah," kataku sambil tepuk-tepuk punggungnya pelan. Pacarku juga pasti melakukan hal yang sama kalau Minghao sedih—iya kan? "Kamu nggak boleh sedih. Nanti dia bingung di sana."
Minghao tertawa pelan karena candaan garingku. "Omong-omong, karena kadonya udah terlanjur aku beli, ini buat Kak Jihoon aja."
Aku mengamati cowok itu membuka backpacknya. Beberapa saat kemudian dia mengeluarkan sebuah kotak lucu berwarna pink.
"Ini Instax," kata Minghao sambil menyerahkan kotak tadi padaku. "Dia selalu tertarik sama fotografiku dan pengen beli kamera sederhana. Harusnya aku kasih ini waktu malam ulang tahun kemarin, tapi ... ya udah."
"Kamu boleh simpan ini," kataku sambil menyorongkan lagi kotak tadi. "Ini memori terakhirmu sama dia—nggak seharusnya aku ambil."
"Justru aku nggak bisa, Kak. Tiap aku lihat ini, aku ingat dia."
Aku menghela napas panjang, kemudian menerima lagi kotak kado dari Minghao. "Kamu mau lupain dia?"
Minghao menggeleng. "Enggak kok—maaf. Dia salah satu cewek paling asyik yang pernah aku kenal. Dia tahu aku suka dan sayang sama dia tapi perasaannya buat Kak Jihoon nggak pernah berubah. Dan sikapnya ke aku, tetap nggak berubah."
"Dia juga sayang kamu, sebagai sahabat terbaiknya, Minghao. Makasih udah nemenin dia sampai saat terakhirnya."
"Thanks," kata Minghao. "Ya udah, aku cuma mau kasih itu, Kak. See you?"
Aku mengangguk saat Minghao beranjak. "See you," balasku. Entah kenapa, perasaanku bilang aku memang akan bertemu dengannya lagi—entah kapan.
_____"Seungcheol, kamu yakin mau ikut?" tanyaku pada sosok tinggi dan tampan yang punya kemiripan nyaris 90% dengan adiknya. Dia menyandang carrier dan mengulas senyum tipis yang lagi-lagi mengingatkanku pada adiknya.
"Ya, salah satu keinginan terakhirnya adalah lihat sunrise sama kamu."
"Nggak bawa siapa-siapa kan?"
"Enggak." Seungcheol menggeleng. "Udah baikan tapi masih mageran dia mah."
"Oke." Aku mengangguk dan kembali memasukkan barang-barang ke jok belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
Hayran KurguBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...