Taman bermain.
Entah kapan terakhir kali aku menjejakkan kaki di tempat seperti ini. Begitu lulus sekolah, aku terlalu sibuk menjalani dunia perkuliahan dan meluncur dalam dunia kerja yang super sibuk. Belum sempat menikmati puncak karir di Higher Records–Yoon Jeonghan masuk ke dalam hidupku; mengacaukan semua rencana masa depanku, membuatku hidup dalam kebencian selama beberapa waktu sebelum Yoon Cheonsa lahir dan membuatku jatuh cinta.
"Han, kamu lucu kalau pakai gendongan kanguru gitu," kataku saat kami melewati pengecekan tiket. Dia menggendong Kenji sementara aku bersama membawa Cheonsa dengan gendongan yang sama. "Untung Kenji nggak banyak gerak. Tapi aku juga pengin lihat kamu kelimpungan–pasti lucu."
"Aku lucu?" Dia bertanya, mengulurkan tangan untuk menggandeng tangan kiriku dan berjalan masuk lebih dalam ke arena taman bermain. "Aku nggak keberatan setiap hari begini asal kamu bahagia."
"Jangan gombal, Han. Coba ingat umur, udah nggak cocok." Aku terkekeh. "Ini mau naik apa ya yang aman buat anak-anak. Kan enggak mungkin kita naik wahana ekstrem. Ngeri bayanginnya gendong Kenji dan Sa-yii sambil naik roller coaster."
"Istana boneka?"
"Kamu mau masuk istana boneka?"
"Hari ini misiku adalah bikin kalian bertiga senang. Kalau kalian senang dan bahagia, aku nggak keberatan." Jeonghan tersenyum, mengeratkan genggamannya pada tangan kiriku. "Istana boneka ... di mana ya?"
Aku menoleh, ikut mencari-cari papan penunjuk untuk menemukan keberadaan istana boneka. "Kayaknya di dalam, Han. Jalan dulu aja nggak apa-apa sambil lihat-lihat. Sayang banget Kenji dan Sa-yii masih umur segini. Mereka pasti belum ngerti kalau kita kenalin pakaian dan rumah tradisional begini."
"Ajak ngomong aja, siapa tahu mereka bisa nangkep." Jeonghan terkekeh dan mulai menunjuk beberapa bangunan rumah tradisional. "Ken, di depan rumah orang-orang jaman dulu banyak guci tanah liat. Itu isinya gochujang."
Aku tertawa. "Jangan bohong, Han! Nanti kalau Kenji ingat gimana?"
"Lho, bener. Sini coba deketin kalau nggak percaya." Jeonghan berjalan mendekat, aku mengikutinya di belakang sambil tertawa geli–sudah tahu kalau guci tanah liat itu kosong karena cuma replika dan berfungsi sebagai pajangan. "Wah, ternyata nggak boleh dekat-dekat, Ken. Do not cross–katanya."
"Ih, mana ada." Aku tertawa, Cheonsa ikut tertawa meskipun aku seribu persen yakin dia belum tahu apa yang lucu. Melihat Cheonsa tertawa, Kenji ikut mengulas senyum. "Diketawain anak-anak, nih."
"Wah, jahat kalian. Sekongkol sama bunda buat lawan ayah ya?" Jeonghan mengerucutkan bibirnya sebelum mencium pipi Kenji dengan gemas. Dia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Cheonsa tapi aku lebih cepat menghindar–menyelamatkan pipi gembul Cheonsa dari cubitan ayahnya. Sialnya, dia cukup gesit menaikkan tangannya dan malah mencubit pipiku sambil menjulurkan lidah. "Sakit?"
"Menurutmu?" Aku mengusap pipi kiriku sambil cemberut–sedang pura-pura marah padahal sebenarnya nggak masalah. "Sakit, lah."
"Ya udah sini cium biar nggak sakit."
"Haaan, di tempat umum." Aku buru-buru melangkah mundur dari Jeonghan dan berjalan lebih dulu–masih bisa mendengar suara tawanya jauh di belakang, juga memanggil namaku sebagai selingan.
Dasar. Sepertinya dia nggak peduli menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Aku kan malu.
_____
Sebenarnya, aku benci mengenakan bando karakter seperti ini. Tapi Yoon Jeonghan menarik tanganku menuju toko souvenir dan memasangkan bando Minnie Mouse di kepalaku dan Cheonsa sementara Jeonghan dan Kenji mengenakan bando karakter Mickey Mouse. Okay, kami benar-benar terlihat seperti keluarga tikus lucu sekarang ini.
"Kamu lucu," katanya saat kami duduk berhadapan di dalam kotak bianglala, mengulurkan tangannya untuk menyentuh daguku. "Sering-sering begini."
"Kamu udah tahu aku bukan perempuan lucu, Han," jawabku sambil menengok keluar–melihat hamparan taman bermain yang ternyata super besar. Cheonsa sudah tidur sejak kami keluar dari istana boneka tadi. Sementara Kenji masih asyik menggigit biskuit cokelat yang kuberikan saat kami masuk ke dalam kotak bianglala. "Aku nggak bisa jadi lucu dan menggemaskan."
"Ya udah, aku cinta kamu kok–just the way you are."
Sial. Aku tersipu dan nyaris nggak bisa menahan senyum. Jeonghan tahu benar akan hal itu dan dia malah menggodaku dengan tertawa geli. "Nah, begini juga lucu. Malu-malu tapi mau."
"Haaaaan."
"Iyaaaaaa."
"Udah dong, jangan digodain terus akunya. Beneran malu ini," kataku tanpa berniat menoleh untuk melihat ke arahnya. Aku merasa gerah–jadi, kurasa pipiku sudah memerah saking malunya. "Omong-omong, aku mau pipis. Turun dari sini aku titip Sa-yii sebentar ya, Han?"
"Yaaa," jawabnya sambil mengusap rambutku dengan lembut. Aku menghela napas panjang, merasa lega karena dia memutuskan untuk menyudahi semua gombalan menyebalkan yang membuatku malu setengah mati. Percayalah, dua mantan pacarku sebelum menikah dengan Jeonghan, enggak ada yang memiliki sisi seperti ini.
Oh, atau mungkin mereka punya, tapi nggak pernah menunjukkannya padaku–melainkan pada perempuan lain yang mereka jadikan pacar di belakangku.
_____
Aku keluar dari toilet umum sambil merapikan celana jeans hitam yang kukenakan. Kaos tanpa lengan berwarna biru langit yang membalut bagian atas tubuhku kini sudah masuk dengan sempurna. Tadi, aku menitipkan blazer pada Jeonghan. Agak repot juga, sih, kalau ke kamar mandi membawa-bawa blazer.
Aku mengernyitkan dahi saat gagal menemukan Jeonghan bersama bayi-bayiku di kursi tunggu depan toilet. Jadi, aku berinisiatif mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana (yang untungnya aku bawa) dan menekan angka 2 selama beberapa detik–panggilan cepat ke nomor Jeonghan. Enggak butuh waktu lama sampai dia mengangkat teleponku.
"Aku di sebelah barat toilet, tempat jual es krim. Sini, tadi Sa-yii agak rewel dan nggak mau kalau cuma duduk aja."
"Oh, okay. Aku ke sana. Kamu nggak kerepotan?"
"Enggak. Aku masih gendong Kenji, Sa-yii aku gandeng. Maaf ya, Kenji masih panas soalnya. Aku nggak tega lepas dia jalan sendiri. Sa-yii kan udah agak baikan."
"Nggak apa-apa." Aku mengulas senyum tipis meski tahu Jeonghan nggak akan lihat. "Ya udah aku tutup dulu teleponnya. Aku jalan ke sana."
"Hati-hati."
"Masih di tempat yang sama, Han," jawabku sambil tertawa dan mulai berjalan ke arah yang disebutkan Jeonghan.
"Pokoknya hati-hati. Apapun bisa terjadi di manapun."
"O ... kay."
"I love you."
"Hm?"
Klik.
Sial, dia memutuskan sambungan telepon dan membiarkanku tersenyum sendirian seperti orang bodoh. Aku mengabaikan fakta barusan dan menyelipkan kembali ponselku ke dalam saku celana –berjalan terus sambil mengikat rambutku yang berantakan karena diterpa angin. Ini sudah sore dan angin yang berembus sedikit terlalu kencang. Ngeri juga sih melihat banyaknya papan iklan raksasa di dalam taman bermain. Beberapa berukuran sedikit terlalu besar dibandingkan dengan tiang penyangganya dan aku bisa melihat mereka mulai berkarat dimakan usia. Akibat terlalu sering menonton film thriller, pikiranku terkadang menjadi begitu liar dan–
"YOON JEONGHAN!"
Aku refleks berteriak–mengangkat kedua telapak tangan untuk menutupi sebagian penglihatanku. Enggak sanggup menyaksikan secara penuh apa yang selanjutnya akan terjadi di depan mataku. Jantungku berdebar terlalu kencang sampai rasanya ingin meledak dan kakiku mendadak lemas. Aku menangis. Dan aku jatuh.
Aku jatuh–tepat saat papan penanda wahana air swing ambruk. Menubruk Yoon Cheonsa yang sedetik lalu lepas dari genggaman ayahnya karena sibuk mengelap noda es krim di sudut bibir anaknya yang lain.
_____
Chapter selanjutnya ending. Selamat tidur ^^ HAHAHAHAHA ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...