Junhui - Fate [16]

3.6K 635 26
                                    

Perih.

Perih adalah hal pertama yang bisa kurasakan di sekitar pelipis kanan. Begitu rasa sakit yang satu itu mampu kukenali, tiba-tiba bagian lainnya menyusul. Siku, lengan kanan, kaki kanan, telapak kiri–ya Tuhan, kenapa badanku rasanya sehancur ini?

Aku membuka mata dan menyadari tengah berada di rumah sakit lantaran obyek pertama yang kulihat adalah botol infus. Mataku menelusuri selangnya dan berakhir di punggung tanganku. Oke, jadi, aku yang sakit. Aku yang sedang dirawat. Tapi kena–hmm? Dahiku mengernyit begitu menyadari ada seseorang berambut cokelat dengan kepala di atas ranjangku, di dekat tangan kanan. Napasnya teratur, menandakan dia sedang tidur.

Tanganku bergerak pelan, mengusap rambutnya sambil bertanya-tanya siapa orang ini.

Papa? Sepertinya bukan, rambutnya enggak cokelat.

Chani? Chani punya rambut cokelat tapi bentuk kepalanya nggak seperti ini.

"J-jun...?" bisikku lirih, setelah menimbang beberapa saat. "W-wen Junhui?"

Tebakanku benar karena si pemilik rambut terbangun, menolehkan kepalanya dan bola matanya membulat begitu mata kami bertatapan. Junhui. Junhuiku. Aku tahu ini Wen Junhui meskipun dia menggunakan masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.

Dia mengerjap sebelum menurunkan maskernya. "Udah bangun?"

"Hmm?" Aku berdeham pelan karena kerongkonganku terasa kering. "A-ada minum?"

"Oh? Ada." Jun menegakkan tubuhnya. Tangan kirinya terulur untuk menggapai satu botol air mineral. Dia membuka tutupnya, mengambil sedotan, mengulurkannya padaku pelan-pelan. "Enggak usah bangun. Gini aja."

Aku menurut. Begitu ujung sedotan tadi menyentuh bibirku, aku buru-buru menyesapnya. Air mineral dalam botol yang dipegang Jun mengalir lancar melalui kerongkonganku. Benar-benar melegakan.

"Udah?"

Aku mengangguk dan menarik napas panjang sementara Jun menutup botol tadi dan mengembalikannya ke atas meja. Mataku menyusuri wajahnya dan terperangah begitu menyadari ada plester melintang di atas pelipis kanannya.

"Kamu luka, Jun?"

"Aku?" Jun mencondongkan tubuhnya karena suaraku sepertinya terlalu pelan. "We got into a car accident few hours ago. Kecelakaan di persimpangan. Maaf ya karena belum bisa jaga kamu dengan baik."

"Hmm?"

"Harusnya kita nggak bertengkar." Jun menggenggam tanganku dengan lembut sementara aku masih mencerna kalimatnya pelan-pelan. "Seharusnya aku nggak maksa buat antar kamu pulang tadi. Kalau kamu pulang sendiri, mungkin nggak akan begini."

"Kita bertengkar?"

Jun mengangguk, tangan kirinya mengusap dahiku dan menyingkirkan anak rambutku. "Harusnya aku dengar apa katamu. Aku capek dan kurang fit. Harusnya aku memang di rumah aja dan istirahat."

Aku mengulas senyum sebelum membalik tangan kananku untuk balas menggenggamnya. "Aku mimpi bagus."

"Apa? Hm? Nikah sama aku ya?"

"Lebih dari itu," jawabku sambil tertawa pelan tapi menghentikannya dua detik kemudian karena pipiku terasa sakit dan sudut bibirku perih. "Kita menikah dan punya anak perempuan. Namanya Wen Xiaochen. Katamu, artinya dawn. Dia lahir dini hari."

"Perempuan?"

Aku mengangguk. "Perempuan. Cantik."

"Iya, pasti mirip kamu–cantik." Jun tertawa. "Aku panggil perawat dulu ya? Kamu barusan sadar. Kamu harus diperiksa dulu."

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang