Junhui - Fate [11]

3.7K 654 34
                                    

"Jeonghan dan Lila nggak menerima surat pengunduran diri yang mama buat," ujarku begitu sampai di ruang makan dan melihat mama tengah menyiapkan sarapan. "Jadi, aku berangkat kerja hari ini–maaf, Mama. Tapi aku suka pekerjaan ini dan aku nggak bisa resign begitu aja. Yang terpenting, aku nggak sakit dan nggak membutuhkan proses penyembuhan apapun. Iya, kan?"

Mama mendongak, mengambil selembar tisu untuk membersihkan tangannya sebelum menatap lurus ke arahku. "Mama juga minta maaf karena bikin kamu malu di depan banyak orang. Maaf, karena nggak seharusnya mama berbuat kasar sama Jun di tempat umum."

Aku mengulas senyum tipis dan mengangguk sebelum berjalan mengitari meja makan untuk memeluk mama erat. "Aku pulang, dan tinggal di sini mulai hari ini. Mama nggak perlu khawatir, aku nggak akan ke mana-mana. Aku ... bakal jadi cutie princess Mama forever and after."

Mama membalas pelukanku lebih erat dan mencium pipiku sebelum melepas pelukannya. "Sarapan dulu ya?"

"Boleh," Aku mengangguk. "Disuapin mama boleh ya?"

Seulas senyum yang tercetak di bibir mama sukses membuat hatiku menghangat karena menyadari ketulusannya. Mama menyayangiku, merawatku, bahkan melindungiku dari hal-hal membahayakan meski tahu persis aku bukan anak kandungnya. Aku benar-benar nggak membayangkan–bagaimana reaksi mama kalau tahu apa yang terjadi padaku malam Natal lalu.

"Kamu mau kuah yang banyak atau sedikit?" tanya Mama sementara aku menarik kursi makan. "Kamu suka kuah kan?"

"Yang banyak biar hangat. Lagipula, udah lama aku nggak makan masakan Mama," jawabku. "Oh ya, Chani nggak pulang minggu ini? Aku lihat semalam kamarnya masih kosong. Bukannya semester ini dia cuma ada kelas sampai Kamis pagi?"

"Chan ada acara di kampus hari Minggu besok," jawab Mama yang baru saja menarik kursi di sebelahku. "Kemungkinan pulang Senin, malah. Kangen ya?"

"Hm-m. Kayaknya udah lama juga aku nggak ngobrol sama Chani. Sejak ... itu."

Mama menghela napas panjang sebelum menyorongkan satu sendok nasi dan sup ayam di depan mulutku. "Chan pernah bilang sama Mama, dia takut sama kamu. Takut bikin kamu marah dan nggak mau pulang ke rumah lagi. Sampai hari ini, dia masih anggap kamu move out ke apartemen karena salahnya."

"Itu nggak benar," bantahku cepat. "Aku nggak marah sampai segitunya sama Chani. Malam itu aku memang marah, tapi ya udah. Aku pindah karena apartemen itu memang lebih dekat dari Higher Records–dan aku pengin hidup mandiri."

"Mama tahu kamu sayang Chan," Mama mengulas senyum manis. "Nanti mama telepon Chan biar dia cepat pulang setelah acara kampus."

"Okay," jawabku sebelum kembali membuka mulut dan menerima suapan Mama. "Pwa-pwa i ma nga?"

"Ada di depan, tuh, lagi manasin mobil. Katanya mau antar kamu ke kantor."

_____

Aku sontak tertawa begitu mobil Papa meninggalkan halaman rumah–setelah mengecek dari kaca spion kalau mama benar-benar nggak terlihat. Papa menanggapi tawaku dengan seulas senyum tipis.

"Ini mengerikan," katanya. "Woah, Papa nggak menyangka kalau berkoalisi sama kamu buat membohongi mama bakal terjadi at least sekali seumur hidup."

"Aku udah merasa aneh waktu mama bilang papa mau antar aku," jawabku sambil mengupas dua bungkus permen–memakannya satu dan mengulurkan yang lain untuk Papa. "Kerjaan Jun? Dia minta Papa antar aku ke apartemennya?"

"Papa yang nggak tega lihat mukamu semalam," jawab Papa sambil menoleh ke arahku setelah menarik rem di lampu merah. "Habis ngapain tuh semalam, kok kayak kesel banget waktu Papa muncul di unitnya?"

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang