Seokmin - Rewind [15]

4K 661 43
                                    

"Namanya Choi Yuna, satu kelas sama Seokmin selama tiga tahun di SMA. Hmm ... sebentar aku scroll dulu biar nggak usah panjang-panjang ngomongnya. Udah aku ringkas tadi pagi."

Jeonghan menggeser layar ponselnya sementara aku menyimak sambil mengigit ujung sedotan–thai cocoa yang menjadi isinya sudah habis sejak aku menginjakkan kaki di ruangannya lima menit lalu.

"Sebenernya aku penasaran kenapa kamu tiba-tiba nanyain latar belakang mereka sedetil ini. Something happened lately?"

Aku mengangguk malas. Mood-ku agak kurang bagus karena terlalu lama menunggu taksi online dari kafe tempat membeli minuman tadi. Kalau bukan Jeonghan yang minta juga aku nggak akan benar-benar 'melintasi' kota hanya untuk membeli ice Americano dan sepotong red velvet cake. Oh, saking kesalnya, aku nggak cukup membeli satu slice–aku membeli satu loyang dan Jeonghan menerimanya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Kenapa?"

"Seokmin sama Yuna lari-larian di tangga darurat Star Classic. Katanya dikejar orang yang badannya tinggi besar," jawabku sambil mengingat cerita Seokmin semalam. "Tapi aku juga nggak tahu kenapa orang itu ngejar mereka? Siapa orang itu? Apa urusannya?"

"Dari mana tahu mereka lari-larian?"

Sambil menghela napas panjang, aku meletakkan cup kosong di atas meja dan menyandarkan tubuh di sofa empuk berwarna serenity yang matching dengan desain interior-nya. As expected from Yoon Jeonghan–our aesthetic prince.

"Aku mampir kemarin, bawain Seokmin makan si–"

"HAHAHAHAHA."

Aku buru-buru menegakkan tubuh lagi dan menatap tajam Yoon Jeonghan yang baru saja memotong kalimatku dengan tawa keras. "Nggak sopan sih ada orang ngomong diketawain. Ini aku lagi bete, please jangan dibikin makin kesel."

"Sorry, nggak bermaksud bikin tambah kesel–okay? Aku cuma nggak percaya kamu masak buat Seokmin?"

"Aku nggak bilang masak. Aku cuma mau bilang bawain makan siang."

"Makanannya beli?"

"Bukan." Aku menggeleng. "Mama yang masak, aku bantu-bantu aja sih. Omong-omong, buruan tadi gimana kelanjutannya soal background check-nya Choi Yuna. Aku nggak bisa lama-lama di sini. Lagi liburan males banget sebenernya lihat kantor."

"Kamu yang minta ketemu di sini."

"Karena aku tahu diri permintaanku nggak gampang makanya aku ngalah. Buruan dilanjut, dear sunbaenim."

"Okay, udah ketemu kok, sebentar."

Aku melirik sedikit, ke arah layar ponsel Yoon Jeonghan dan melihat data berbentuk tabel-tabel entah apa. Lumayan juga sih hasil kerjanya–dan aku serius soal membawanya ke perusahaan papa suatu hari nanti kalau aku siap jadi presdir.

"Papanya meninggal waktu Yuna masih TK," Jeonghan melanjutkan. "Setelah putus dari Seokmin ternyata dia pindah ke Jepang. Ayah tirinya yang sekarang, yang sama ibunya, orang Jepang."

Mataku melebar, setengah nggak percaya dengan apa yang kudengar barusan. "Sebentar, orang ini yang bilang kalau dia ayah kandungnya Seokmin–ayah tirinya Yuna. Dia orang Jepang?"

Jeonghan mengangguk. "Nakamura Yuto. Dokter spe–"

Aku mengangkat wajahku–mengalihkan fokus dari layar ponsel Jeonghan untuk menatap pemiliknya. "Kenapa?"

"Spesialis kejiwaan? Aku ngerasa baca sesuatu tentang jiwa atau psikiater dan semacamnya sebelum ini," jawab Jeonghan. "Sebentar, oke, sorry. Ini kurang well-organized karena deadline-nya cepet. Kukira udah rapi ternyata ada beberapa yang slip dan belum dikelompokin. Uhm, Choi Yuna rajin ketemu psikiater satu minggu sekali sebelum pindah ke Jepang."

"Hah?"

Jeonghan mengangguk. Dia menunjukkan layar ponselnya dan aku bisa melihat bahwa Jeonghan berkata benar. Dalam dokumen digital itu, tertulis bahwa Choi Yuna mengunjungi Jung Soojung–seorang psikiater yang tempat praktiknya ada di depan Star Classic–satu minggu sekali. Aku tahu karena pernah mempir beberapa kali. Saat merasa kurang baik karena Tugas Akhir Skripsi yang memusingkan beberapa waktu lalu.

"Ada data per kunjungannya nggak? Kenapa dia ke sana? Kalau sebelum pindah ke Jepang, itu berarti sebelum dia putus sama Seokmin?"

Jeonghan menarik kembali ponselnya dan dia menggeleng. "Aku nggak bisa ambil data-data semacam itu. Tapi, iya, itu artinya dia rajin ke psikiater sebelum putus sama Seokmin. Ada kemungkinan dia tahu. Kamu nggak berniat tanya?"

"Mungkin nggak sekarang. Kepalaku pusing," jawabku sambil kembali menyandarkan tubuh ke sofa sambil memijat kening. "Ruanganmu ... ganti pengharum ya?"

"Kopi. Kamu sakit beneran?"

"Enggak, aku cuma kepanasan tadi. Jadi agak pusing. Lanjut aja, tadi apalagi yang bisa aku tahu?"

"Tentang Seokmin?"

"Ada yang aku belum tahu?" tanyaku.

"No. Aku rasa kamu udah tahu semuanya mulai dari fakta kalau dia tinggal di panti asuhan dari kecil, keluar dari sana begitu masuk kuliah dan indekos di belakang kampus, kadang kerja part time, begitu lulus dia keterima di Makestar Studio dan masih di sana sampai hari ini."

"Iya, aku tahu semua. Nggak ada informasi yang lebih personal?"

"Mau aku bacain daftar mantan pacarnya sekalian profilnya? Ada fotonya juga barangkali kalau ketemu di jalan mau kamu labrak?"

_____

Pusing.

Ya ampun, ternyata mendengar informasi seputar mantan pacar Seokmin malah membuat sakit kepalaku semakin menjadi. Untung Yoon Jeonghan bersedia membolos sebentar dan mengantarku pulang. Katanya, dia merasa bersalah karena sudah memintaku membawa kopi dan cake tadi.

"Keracunan thai cocoa kali?"

Aku tertawa pelan sambil masih memegangi tali sabuk pengaman dengan tangan kiri. "Aku sering beli di situ dan nggak pernah kenapa-kenapa, Jeonghan. Serius, ini cuma karena kepanasan. Tahu sendiri aku gimana–agak manja emang."

"Nggak mau mampir buat periksa dulu?"

"Aku nggak suka rumah sakit. Dokter yang biasanya datang ke rumah. Bukan aku yang ke sana."

"Siap, anak presdir memang beda."

"Bukan gitu maksudnyaaaaa." Aku berseru gemas. "Pokoknya pulang aja. Awas kalau sampai berani belokin stir ke rumah sakit. Aku blacklist."

"Iya iya, aku telepon Seokmin aja ya? Biar dia buruan pulang setelah jam kantor."

"Nah, kalau itu boleh. Seokmin kan obat alternatif kalau aku sakit," sahutku sambil tertawa pelan. Tawaku mengeras saat Jeonghan menoleh dan menatapku dengan dahi berkerut jengah. "Omong-omong, kamu nggak mau nikah atau gimana?"

"Kok tiba-tiba bahas aku?"

"Kepo aja nih."

"Dia belum mau nikah. Nggak tahu deh kapan, terserah dia aja. Apa yang dipaksakan nggak pernah bagus hasilnya." Jeonghan membelokkan mobilnya ke arah gang rumahku. "Nanti kalau aku nikah juga undangannya pasti sampai ke–itu mobilnya Seokmin kan?"

Aku menegakkan tubuh dan ganti melongok ke depan–menemukan mobil Seokmin terparkir di depan rumah. Bukan di garasi, masih di tepi jalan, di depan rumah. "Iya. Kok dia nggak bilang kalau ada di rumah?"

Lima detik kemudian, Jeonghan menarik tuas rem dan mobilnya berhenti tepat di belakang mobil Seokmin. Aku buru-buru melepas sabuk pengaman dan membuka pintu–keluar dari mobil. Jeonghan mengikuti–merupakan kebiasaannya dari lama untuk memastikan aku selamat sampai rumah.

"Seokmin?"

Aku membuka pintu depan yang nggak terkunci dan nyaris menjerit saat melihat suamiku tergeletak begitu saja. Wajahnya pucat, rambutnya basah oleh keringat, dan aku melihat ada tambahan luka memar di pelipis kanan serta sudut bibirnya.

Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?! 

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang