"Gue ... nggak apa-apa kalau misal lo memang nggak bisa jemput gue karena sibuk sama kerjaan dan silakan jemput gue pakai Cherokee kalau memang lagi suka banget sama mobil itu," lanjut gue karena Hansol terlihat ragu-ragu menjawab. "Tapi kalau lo nggak bisa jemput gue karena ada acara sama cewek lain dan dia lebih suka naik ini–bilang aja. Gue sayang sama lo, tapi gue juga nggak mau kalau lo ada di sini karena terpaksa–kita pernah bahas ini sebelumnya."
Hansol menelan ludah–terlihat dari jakunnya yang bergerak cepat. Matanya masih menatap lurus ke arah jalanan tapi laju mobilnya melambat. "Lo ... di Exchange?"
"Lo tahu itu nggak mungkin," jawab gue. "Makanya lo berani makan sama cewek itu di sana. Iya kan? Rapat internal apanya. Rapat personal, iya."
"Lo di mana tadi? Sama siapa?"
"Lo tuh bisa nggak, sih, jawab dulu pertanyaan gue? Atau paling nggak kasih respons buat pernyataan gue. Lo mau kita berhenti di sini?"
"Iya, gue makan sama cewek tadi–di Exchange. Sekarang lo jawab gue, lo lihat gue dari mana? Lo sampai daerah itu sama siapa?"
Gue menarik napas panjang, berusaha keras menahan diri agar nggak meledak marah atau yang lebih parah–menangis. Harga diri gue, guys. Gue memang bucin Hansol, tapi gue juga nggak sudi meratap, menangis, apalagi memohon dia buat tetap tinggal kalau hatinya sudah nggak betah dan pengin pergi.
"Gue makan di McDonalds," jawab gue. "Sama cowok yang lo lihat di taman kampus. Namanya Mark dan kebetulan sama-sama anak gratisan kayak gue. Gimana? Kalau lo mau kelar gue bisa mulai cerita baru sama dia."
"Lo ngapain–"
"Kita lagi bahas tentang lo dan cewek yang lo bawa ke Exchange sore tadi, bukan gue sama Mark. Sekarang gue nggak ada apa-apa sama dia. Gue terbuka sama lo. Gue jujur–gue bilang tadi pulang seminar makan sama Mark. Lo gimana? Mau jujur nggak sama gue? Siapa cewek itu?"
Hening.
Gue pengin menoleh dan menatap Hansol lagi tapi nggak kuat. Kepala gue kaku, maunya terus menghadap depan menghindari kontak mata. Mobil Hansol dalam posisi berhenti karena lampu merah dan gue yakin dia juga berniat sama.
"Gue suka sama dia."
Jantung gue.
Jantung gue rasanya melorot jatuh sampai ke dasar mobil begitu suara bariton Hansol mengucap empat kata barusan. Empat kata sederhana yang terdengar bagai vonis mati di telinga gue. Dia ... kenapa dia bisa ngomong begini padahal belum juga genap dua minggu tanya soal minat gue dengan pernikahan?
Gue nggak sanggup berkata-kata.
Mata gue melirik cepat ke arah spion. Begitu mendapati jalanan cukup sepi, gue buru-buru melepas sabuk pengaman–juga kunci mobil manual. Gue membuka pintu mobil Hansol dan melompat keluar untuk mencari transportasi umum jenis apapun. Gue memprioritaskan bus karena sayang uang tapi nggak satupun terlihat dan gue takut Hansol punya cukup waktu untuk menyusul. Jadi, gue menghampiri sebuah taksi yang juga berhenti karena lampu merah. Sign di atasnya menunjukkan kalau nggak ada penumpang di dalamnya, jadi, gue mengetuk pintunya dan masuk begitu kuncinya dibuka.
"Asrama mahasiswa Clockwood Street," kata gue pada driver yang baru saja menekan argo. "Agak cepet ya, Pak. Saya diikutin orang."
_____
Hansol Vernon Chwe is a really good driver, tho.
Secepat apapun taksi yang gue tumpangi tadi membawa gue kembali ke asrama, Mazda CX 5 Hansol turut berhenti beberapa detik setelahnya. Gue menyerahkan beberapa lembar dollar pada driver dan melompat turun tanpa repot-repot meminta kembalian yang sebenarnya bisa gue pakai untuk beli mi instan plus cola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...