Junhui - Fate [13]

3.9K 664 40
                                    

"Ini mau nangis sampai kapan?" tanya Jun sembari mengusap pipiku dengan kedua ibu jarinya. "Kamu nggak malu sama aku? Cengeng."

Aku memberengut–berniat mendaratkan satu pukulan ringan di tulang selangkanya, tapi Jun bergerak jauh lebih cepat menangkap tanganku dan mendekat untuk mencium keningku sekilas. "Nggak, aku cuma bercanda. Nangis aja sepuasmu, asal jangan nangis karena aku ya."

"Kamu tahu, kan, aku nangis bahagia bukan nangis karena sedih apalagi sakit hati, Jun?"

"Iya." Jun mengangguk. "Tapi tetep aja, yang namanya lihat cewek nangis itu nggak enak–apalagi cewek itu pacarku. Sini, aku peluk aja daripada sesenggukkan sendiri."

Well, dalam sekejap aku sudah berada dalam pelukan Jun. Dia menepuk punggungku dengan lembut, sesekali mengusap puncak kepalaku dan menciuminya. "Kamu nggak perlu khawatir lagi sekarang."

"Aku nggak tahu harus apa–serius," jawabku sambil membalas pelukannya. "Mama udah tahu semuanya, bahkan sekarang enggak lagi menghalangi kamu dan aku. Bonus, mengijinkan aku untuk pergi ke Shenzen–sekadar menengok mama kapanpun aku mau. Tapi, lihat mama nangis karena tahu apa yang terjadi sama aku malam Natal kemarin really breaks my heart."

"Kamu yang paling terluka soal malam itu. Kalau kamu bisa melewatinya, orang lain pasti jauh lebih bisa. Kamu okay sekarang?"

"Aku baik-baik aja sekarang."

"And I'm so glad to hear that." Jun melepaskan pelukannya dan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajahku–menempel di kening dan pipi, yang bercampur dengan keringat dan air mata. "Yang terpenting sekarang adalah kamu okay. Itu yang aku, papa, dan mama kamu mau–ya?"

Aku mengangguk. "Aku juga mau telepon Chan nanti–secepatnya."

"Ya?"

"Kalau Chan sampai dengar soal malam Natal itu, dia bakal lebih menyalahkan diri sendiri, Jun. Aku pernah bilang kan–aku bertengkar sama dia sebelumnya, di malam yang sama." Aku menelan ludah. "Chan anak baik. Kalau dugaan mama dan papa tadi benar, Chan juga tahu aku ini bukan kakak kandungnya. Tapi dia nggak pernah merasa itu semua masalah besar. Dia anggap aku kakak kandungnya, dia sayang aku."

"Aku juga sayang kamu."

"Oh, please." Aku tertawa sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan karena malu. Kenapa, sih, orang ini hobi membuatku merasa malu dengan kalimat-kalimat super cheesy. "Jun, jangan bikin aku merasa pengin pingsan dong. Kamu mau gendong kalau aku pingsan?"

"Oh, dengan senang hati." Jun mengulurkan tangan–menarik tanganku dan mendekatkan wajahnya. Aku sudah menutup mata, mengira dia akan menciumku saat lima detik kemudian nggak merasakan apa-apa dan kembali membuka mata–mendapati Jun mengulas senyum, menatap lurus ke dalam mataku. "Apa?"

"I-I thought ... you're going to kiss–"

Kalimatku terpotong otomatis begitu Jun memejamkan mata dan menyesap bibirku sesaat sebelum memagutnya dengan lembut. Dia mendorong tubuhku pelan, membuatku jatuh sekali lagi di atas sofa dengan Wen Junhui di atasnya. Tangannya cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya, tapi aku khawatir dia tanpa sadar melepaskan tangannya dan menubrukku begitu saja.

Jadi, aku ikut menahan tubuhnya dengan mencengkeram bahunya erat. Oh, meremasnya pelan kalau dia mulai nakal–menggigit bibir bawahku misalnya.

_____

Beberapa jam lalu, aku mengira insiden di depan kantor Higher Records akan terulang. Kejadian di mana mama datang untuk memaki dan menampar Jun di depan banyak orang yang berujung pada dikosongkannya apartemenku–dipaksanya aku untuk pulang ke rumah.

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang