Aku membuka mata dan otomatis mengulas senyum saat menemukan wajah Seokmin tepat di depan mataku—terlampau dekat sampai aku bisa melihat dengan jelas titik hitam di pipi kiri yang menjadi ciri khasnya; terlampau dekat sampai aku bisa mendengar dengkur halusnya; terlampau dekat ... sampai aku bisa menjangkau bibirnya dengan bibirku.
Tapi ... kurasa poin terakhir bisa mengganggu tidurnya—dan aku nggak sampai hati mengingat betapa sibuk kami berdua seharian kemarin. Jadi, aku memutuskan untuk meletakkan telunjuk kiriku di pipinya dan menelusuri ukiran wajahnya yang terlalu sempurna—semacam too good to be true? Alisnya cukup tebal, matanya membentuk sepasang garis lengkung yang indah, hidungnya tajam, dan bibirnya kemerahan bahkan tanpa polesan produk kosmetik apa pun.
Sialnya, gerakan telunjukku yang sudah cukup halus ternyata mampu mengganggu tidur nyenyaknya. Seokmin terlihat menarik napas panjang sebelum memindahkan tangan kanannya dari pinggangku dan menggenggam telunjuk kiriku.
"Udah bangun dari tadi?" Dia bertanya sembari membuka mata perlahan—dua detik kemudian, sepasang iris cemerlangnya balas menatapku sayu, khas orang bangun tidur. "Aku masih capek. Boleh tidur lagi ya?"
"Hm-m," gumamku sembari mengangguk tipis. "Tidur lagi aja. Aku cuma ... suka lihat ini—indah."
"Boleh—lihat aja sepuasnya. Aku punyamu sejak kemarin," ujarnya sebelum mencuri satu kecupan singkat dariku. "Kamu juga tidur lagi sini, packing buat liburannya nanti aja."
Aku merasakan tubuhku ditarik mendekat dan Seokmin mendaratkan ciuman bertubi-tubi di puncak kepalaku—memelukku lebih erat lagi. "Aku udah pernah bilang belum ya? Aku suka wangi sampo apelmu. Kenapa diganti sih?"
"Ini kan udah gabung sama paket pra-pernikahan kemarin. Ini sampo dari salon," jawabku. "Nanti kalau aku mandi aku sampoan lagi pakai yang biasanya."
"Tapi nanti aja. Aku masih mau tidur—sama kamu."
"Iya, iya," kataku sambil melingkarkan lengan kiriku di atas pinggangnya. "Kamu tadi malam tidur jam berapa?"
"Aku masuk kamar ini jam setengah dua pagi—mau duluan nggak enak soalnya sepupumu masih pada melek."
"Biasa, mereka kalau udah ngumpul kadang suka lupa waktu." Aku tertawa pelan. "Kamu nggak diajak aneh-aneh kan?"
"Enggak. Cuma dikasih tahu kalau kamu pasti udah tidur jadi aku nggak bakal bisa ngapa-ngapain tadi malam. Akhirnya kita main playstation, turnamen sepak bola," jelas Seokmin. "Kamu langsung tidur setelah acara selesai ya?"
"Hm-m." Aku mengangguk. "Maaf ya, aku capek soalnya. Kakiku agak lecet karena kelamaan berdiri. Jam tujuh aku langsung copot gaun, hapus make-up, mandi, dan tidur. Aku udah nggak kepikiran buat bilang apa-apa ke kamu. Aku lihat kamu masih ngobrol sama Mingyu, Minghao."
"Nggak apa-apa." Seokmin menepuk-nepuk punggungku dengan lembut layaknya seorang ibu yang berusaha menidurkan anaknya. "Sekarang masih sakit kakinya?"
"Udah aku kasih obat dan aku plester semalam," jawabku sembari mencoba merasakan sesuatu dari kaki kananku yang semalam lecet parah. Tampaknya sudah sembuh karena nggak ada perih-perihnya sama sekali.
Hening. Aku nggak tahu apa Seokmin sudah tidur lagi atau dia masih mendengarkan—tapi kurasa masih. Aku menghela napas panjang sebelum bicara lagi. "Seokmin, kemarin ... aku lihat ada mantan pacarmu datang di pernikahan kita. Tapi dia nggak naik ke pelaminan. Aku nggak salah lihat kan?"
"Yuna?"
"Hmm." Aku mengangguk. Mengingat sosok cewek cantik yang mengenakan gaun berwarna abu-abu gelap selutut. Rambutnya berponi, panjang dan digerai—astaga, dia luar biasa cantik dan dia mantan pacar Seokmin. "Yuna."
"Aku nggak lihat Yuna datang," ujar Seokmin—lirih. "Dia nggak ada di sini terakhir kali aku dengar."
"Impossible," bantahku. "Aku jelas lihat dia kemarin—berdiri di deretan salad buah dan ngelihat ke arah—"
Cup.
Seokmin baru saja menunduk untuk menciumku. Tangannya menarikku lebih dekat, memelukku lebih erat untuk memperdalam ciumannya—dan aku mulai memejamkan mata, menenggelamkan diri dalam permainannya.
Saat tanganku merambat naik untuk menahan bagian belakang kepalanya—Seokmin berhenti. Memberi jarak di antara kami, membuka kembali matanya—menatapku dengan lembut.
"Ayo, berhenti bahas apa pun yang berkaitan sama masa lalu," katanya pelan. "Aku nggak mau kita ribut-ribut—masih hari pertama jadi pasangan resmi."
"Yeah."
Aku setuju meskipun otakku masih berpikir keras. Mantan pacar Seokmin bukan cuma satu—bagaimana dia langsung menangkap kalau mantan pacar yang kumaksud adalah Yuna?
_____Pemanasan dulu ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine 2.0
FanfictionBook 2 of SEVENTEEN IMAGINE contains: 1. Hoshi's story - Workaholic [✅] Kwon Soonyoung, head of choreography department, love to dance and spending almost 24/7 in the office. Problem is coming when he started to cheat on his wife with his co-worker...