Jeonghan - Escape [13]

4.5K 684 111
                                    

Kalau aku tersadar cuma untuk mendengar berita malaikat kecilku sudah pergi, rasanya lebih baik aku mati.

Seperti yang kusampaikan beberapa detik sebelum kejadian, papan nama wahana air swing itu berukuran lebih besar daripada penyangganya dan mulai berkarat dimakan usia. Sebenarnya, aku juga sempat mendengar bunyi 'kreeet' beberapa kali saat melewati papan nama itu sebelumnya. Tapi aku cuek karena mengira suara itu berasal dari mesin es krim? Atau mungkin dari wahana air swing itu sendiri. Sialnya, aku salah besar.

Kecepatan angin sore kemarin juga rupanya di atas normal. Beberapa detik setelah keluar dari toilet, tepatnya saat aku mengeluarkan ponsel dari saku celana, aku sempat melihat ada sebuah topi lepas dari kepala seorang anak dan terbang begitu saja.

Rambutku ini, sebenarnya memang tipe rambut yang cukup ringan dan mudah berantakan karena angin. Tapi jarang sekali seberantakan itu sampai aku memutuskan untuk mengikatnya.

Dan, keherananku memuncak, berubah menjadi keterkejutan dan ketakutan yang begitu nyata ketika papan nama wahana tadi tumbang—ambruk. Menubruk putri kecilku yang baru saja lepas dari gandengan ayahnya. Jeonghan dan Kenji yang hanya berjarak sekitar setengah meter—selamat.

Aku cuma sempat melihat raut wajah panik Jeonghan sebelum benar-benar pingsan dan terbangun pagi selanjutnya.

Kamar rawatku nyaris kosong. Hanya ada Kim Chorim yang duduk di sofa tamu sambil membaca sebuah buku entah apa. Bahkan dari ranjang pasien, aku bisa melihat matanya sembab seolah dia habis menangis semalaman. Iya, matanya merah dan kantong matanya mengerikan. Dia buru-buru menutup bukunya dan setengah berlari menghampiriku setelah aku memanggilnya pelan.

"Hey," sapanya sambil sedikit menundukkan badannya di sebelah kiriku. "Udah bangun, aku panggil perawat ya? Kamu mau makan sesuatu? Biar aku yang order."

Aku menggeleng lemah. Ingin bertanya di mana orang-orang sekarang, tapi sudah menduga pasti nggak akan sanggup mendengar jawabannya. Perasaanku benar-benar nggak enak. Dan nggak ada siapapun selain Chorim di sini. Jadi, aku menduga apa yang tengah kupikirkan adalah benar. Lagipula ... sepertinya apa yang kuharapkan benar-benar mustahil untuk terjadi mengingat apa yang sempat kulihat sebelum pingsan.

"Aku nggak apa-apa, nanti aja. June sama Woori di mana, Cho? Mereka nggak apa-apa kamu tinggal?"

"Hmm?" Chorim menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya sambil menggenggam pergelangan tangan kiriku. Dia mengulas senyum tipis. "Kayak biasanya. June sama Mingyu, Woori sama Cheon—auntynya."

"Cheonsa?"

"Um, Cheonsa ... "

"Maksudku, Jeon Cheonsa? Woori sama Jeon Cheonsa?"

"Ah, iya." Chorim mengangguk. "Woori ada di rumah Jeon Cheonsa."

"Kalau Cheonsaku ... " Aku mengambil napas dalam-dalam karena dadaku merasa sesak. " ... Cheonsaku ... di ... mana?"

"Sa-yii ... um, dia—sebentar, aku lupa kamu harus cepet-cepet makan kalau udah bangun," kata Chorim sebelum bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya untuk mengambil ponsel di atas sofa yang tadi. "Aku panggil perawat juga ya."

Aku mengangguk ala kadarnya. Tapi, aku sempat melihat, bagaimana dia berjalan sambil mengangkat tangan kirinya untuk mengusap mata. Dia pasti sengaja menghindariku dan menangis tanpa mau menunjukkan wajahnya padaku.

Jadi benar apa yang kupikirkan.

"Sa-yii udah pulang ke rumahnya ya, Cho?" tanyaku dengan suara tercekat dan Chorim berbalik—menatapku sambil berurai air mata. "Malaikat rumahnya di surga. Dia ... udah pulang ke sana ya?"

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang