Minghao - Living in Memories [Ending]

3.6K 491 151
                                    

Choi Selin punya nama berbahasa Inggris yang menurutku cukup indah untuk didengar maupun sekedar dibaca—Celine Eliana Choi. Aku melihatnya di depan mataku sekarang, terukir di nisan putih berbahan marmer yang tampak mewah, di sebuah pemakaman umum di pusat kota.

"Kayak putri," gumam Kak Minghao setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan dan sukses membuatku mengalihkan perhatian. "Dia—masih tetap kayak putri meskipun terakhir kali aku lihat udah nggak bernapas. Dia meninggal karena kecelakaan tapi wajahnya selamat. Tetap putih, bersih, cantik, kayak biasanya—kayak putri."

Aku mengulas senyum.

Rasanya lumayan juga waktu pacarmu memuji cewek lain di hadapanmu—meskipun yang dipuji sudah nggak ada.

"Selin anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya cowok—kamu tahu, kan, Choi Seungcheol itu. Ketua BEM sekaligus kakak tingkat di jurusanmu."

Aku mengangguk.

"Pacarnya ... anak fakultas sebelah, jurusan musik—namanya Lee Jihoon. Aku nggak dekat tapi aku tahu dan kenal orangnya—beberapa kali ngobrol. Kami bertiga, saling bantu buat jagain Selin. Kak Seungcheol di rumah, aku di kampus, Jihoon di luar itu—kapan pun dia mau sama Selin."

Oke, sepertinya hidup Choi Selin ini memang indah. Dijaga tiga orang cowok sekaligus di mana pun dia berada. Harusnya dia selalu aman ... tapi soal takdir memang nggak ada yang tahu. Rest in peace, Kak!

"Hari itu kami bertiga kecolongan—semuanya. Jihoon di Amerika, baru aja berangkat student exchange. Aku kebetulan ada urusan di kampus dan nggak bisa anter pulang. Kak Seungcheol ... di mana ya, aku lupa. KKN? Atau lagi persiapan KKN? Lupa—tapi ya intinya Kak Seungcheol juga nggak bisa. Biasanya, Selin nggak lewat sana. Entah kenapa hari itu pilih lewat sana."

Aku menghela napas panjang, kembali menatap ukiran namanya yang entah kenapa terlihat begitu anggun. "She lives her life well. She's happy, I guess."

"She is," kata Kak Minghao. "Setelah dipikir lagi, mungkin sayangku ke Selin itu ... sebatas pengin melindungi. Bukan sayang yang pengin jadiin dia temen hidup atau apa. Karena waktu aku sama kamu, rasanya beda."

"Ih, jangan ngomongin soal kita di depan makam Kak Selin dong—malu."

"Malu?" Dia terkekeh. "Ngapain malu segala orang Selin lagi tidur. Lagian kalau dia denger juga nggak bisa ngejekin."

"Ih, siapa tau."

"Nggak gitu—serius, sebentar aku mau ngomong," katanya sebelum memetik satu kelopak bunga mawar dari buket yang kami bawa tadi dan melemparkannya padaku. "Aku cuma mikirin dia kalau pas orangnya ada di sampingku. Kalau enggak, ya udah, nggak tahu ke mana. Kalau tahu dia lagi pergi sama Jihoon juga aku biasa aja, nggak sakit hati atau kenapa."

"Emangnya kalau sama aku gimana?"

"Sejak ketemu di gunung juga kamu tuh ada terus di kepalaku mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi. Bosen, ngeselin."

"Terserah," cibirku pelan—di pemakaman nggak boleh berisik.

"Aku serius. Waktu lihat kamu lebih akrab sama Mingyu aja aku kesel setengah mati. Dia orang pertama yang sadar kalau ada kemungkinan aku suka sama kamu. Karena, aku pernah marah-marah sama dia."

"Hah?"

"Kamu lebih deket sama dia kan begitu mulai masuk kuliah? Aku pernah diemin Mingyu dua hari—nggak tahu kenapa. Tapi kata dia, mungkin karena aku cemburu lihat kalian berdua. Nonsense ya? Ya udah abaikan."

Aku tertawa pelan. "Pantes dia sering ngechat nggak jelas, tiba-tiba nanya—udah ditembak belum? Ya mana aku ngerti kan."

"Bener sih kalau ada yang bilang, kadang orang lain malah lebih tahu kalau kita lagi jatuh cinta dari pada diri kita sendiri."

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang