Seokmin - Rewind [9]

4.5K 676 52
                                    

"Kenapa kamu selalu sendirian?" tanya Seokmin yang tiba-tiba muncul di salah satu sudut perpustakaan. Aku tengah membaca sebuah novel fiksi remaja bertema friend zone untuk mengisi waktu luang antar mata kuliah dan tentu saja dikejutkan dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Aku boleh di sini?"

Aku mengangguk, menggeser duduk ke arah kanan dan membiarkan Seokmin menempati kursi di sebelah kiriku. Dia juga membawa sebuah buku–cukup tebal dan berukuran besar, jadi kupikir itu bukan bacaan ringan. "Aku nggak berteman."

"Kenapa?"

"Aku nggak percaya ada pertemanan yang tulus," jawabku pelan. "Rata-rata mereka mau jadi temanku bukan karena aku. Tapi karena uangku–selalu begitu dari sekolah menengah. Apalagi ini dunia kuliah, Seokmin. Kamu nggak boleh naif–kita semua butuh koneksi yang menguntungkan."

Seokmin terkekeh. "Kamu orang kaya?"

Aku mengangkat bahu. "Nama papa bisa kamu temu di majalah bisnis–atau di portal berita yang bahas tentang bisnis."

"Sebagai pengusaha atau sebagai wartawan bisnis?" tanya Seokmin masih dengan senyumnya yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar aneh sejak kejadian drop out kelas.

"Namanya ada di headline, bukan di akhir berita," jawabku yang ternyata memancing senyumnya jauh lebih lebar. "Dia pengusaha."

"Yang antar kamu waktu hari pertama orientasi mahasiswa?"

"Oh–kamu tahu?"

Seokmin tertawa pelan. "Mobil itu terlalu mencolok buat muncul di kampus kita–kamu tahu. Dan, nggak ada mahasiswa lain yang berangkat ke kampus diantar kedua orang tuanya, dipeluk dulu, cium pipi kanan dan kiri–kayak kamu."

Aku seribu persen yakin, pipiku pasti memerah karena malu. Ingatan akan hari itu kembali muncul–di mana mama bersikeras dan terus memaksa papa untuk mengantarku pada hari pertama ke kampus. Nggak cukup mengantar, mereka bahkan harus keluar dari mobil dan melepasku penuh drama–ya ampun.

"Bikin malu–iya aku tahu, nggak usah ketawa," ujarku sambil mengerucutkan bibir. "Aku nggak bisa nolak, nggak bisa bantah, mereka selalu keras kepala kalau udah berhubungan sama aku."

"No," Seokmin menggeleng–menggerakkan telunjuknya di depan wajahku sambil tersenyum manis. "Kamu nggak boleh malu, malah kamu seharusnya bersyukur karena punya orang tua kayak mereka. Mereka sayang kamu dan mereka bahagia kamu ada di dunia ini. kamu harus tahu kalau banyak anak di luar sana yang bahkan nggak tahu siapa orang tuanya."

Rasanya, sesuatu baru saja menamparku. Seokmin nggak mengatakannya dengan nada bermain-main seperti kemarin–atau seperti tadi saat dia bertanya tentang papa. Sinar di matanya yang biasa menatapku jenaka seolah meredup saat menyampaikan hal-hal tadi.

"Kamu kenal salah satu di antara mereka?"

"Ada di depanmu."

_____

Obrolan singkat tentang orang tua yang terjadi di dalam gedung perpustakaan itu boleh jadi sudah bertahun lalu. Tapi entah mengapa rasanya begitu hidup–hanya satu detik setelah Seokmin mengungkapkan siapa laki-laki dalam foto pernikahan itu.

Ayahnya?

Seokmin yatim piatu–nggak punya ayah dan ibu. Dia bahkan menggunakan wali pengganti untuk mengesahkan pernikahannya denganku tempo hari. Orang yang dipajang sebagai 'orang tua'-nya selama resepsi pernikahan juga orang tua Lucas. Jadi ... kenapa tiba-tiba ayahnya muncul?

"Nggak usah dipikir terus," ujar Seokmin sembari menyentil daguku dengan tengan kirinya. "Aku semalam di panti udah ngobrol banyak sama ibu. Ibu nggak yakin apa yang dibilang Yuna bener karena seperti yang kamu lihat, laki-laki itu nggak mirip aku–sama sekali. Ibu juga bilang, Seokmin bayi ditinggal di depan pintu tanpa ada yang lihat siapa yang taruh."

Seventeen Imagine 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang