Syarat Dari Ayah

47.6K 1.6K 12
                                    

Peristiwa itu silih berganti.
Terkadang aneh
Terkadang lucu
Terkadang bahagia
Terkadang sedih
Atau terkadang juga datang semua secara bersamaan!

-Assalamualaikum Ketua Rohis-

-----

"Reyna kalau Bunda jodohkan kamu mau ngak?"

Mungkin ini perasaan seseorang yang tersambar petir. Kaget! Tak perlu ditanyakan lagi. Bunda ku ini aneh melontarkan candaan yang sangat konyol.

"Bunda ini bukan acara talk show yang sering Bunda nonton. Ngak usah melucu deh Bund pake acara jodoh" kata ku yang diselingi tawa. Yah aku cukup terhibur dengan perkataan Bunda meskipun cukup mengagetkan.

Bunda tetap memandang ku lekat. Aku sedikit risih, jarang sekali bidadari tak bersayap ku itu menunjukkan ekspresi serius.

Segera aku menghentikan tawa. Rasanya sumbang tertawa sendiri sedangkan orang yang berada di sampingku menatap serius.

Perasaan tak enak sudah menyerang. Aku was-was tolong jangan katakan Bunda serius.

"Bunda serius, Rey" kalimat padat Bunda yang sangat datar.

Aku terkesiap. Badanku segera menegak secara refleks. Telingaku masih mentransfer ke otak perkataan Bunda untuk di cerna lebih detail.

Dijodohkan?

"Bunda....." Jeritku "Apaan sih, Rey marah ini jangan ngomong asal deh, Bund"

"Kapan Bunda bilang ini asal-asalan. Bunda serius, Rey" kata bunda sangat serius kedengarannya.

"Mau Bunda ngomong ini serius atau bukan tetap bagi Rey ini omong kosong. Reyna masih sekolah, pengen kuliah bukan ngurus rumah tangga"

Aku dapat melihat Bunda mengambil nafas. Pandangannya melunak menatapku tak kalah lekat dari sebelumnya. Namun, justru hal ini membuat perasaan ku semakin cemas. Hayolah siapa tak cemas mengenai urusan jodoh.

"Kamu kan tau bulan depan Ayah dan Bunda menetap setahun di Malaysia. Kalau kamu tetap disini siapa yang jagain? Tidak salahkan kalau Bunda pilih jodoh buat jagain kamu?" Kembali Bunda mengajukan pertanyaan. Raut wajahnya sangat menyedihkan, aku tak tega hati ditambah kedua telapak tangannya memegang tangan ku penuh sayang.

"Salah Bunda... Reyna kira Ayah Bunda berpendidikan tinggi kenapa berpikir konyol sekarang?" Ingin sekali aku mengajukan pertanyaan itu untuk Bunda. Namun ku tahan moral ku sebagai anak terdidik masih aku jaga.

Yah aku ingat. Sepekan lalu Ayah memberi tau mengenai kepindahan kami ke Malaysia. Pekerjaan mengharuskan Ayah untuk menetap sementara disana. Aku menolak dengan tegas untuk pindah ke negeri itu. Malaysia bukan negara impian ku, ditambah kenyamanan di Indonesia sudah aku rasakan.

"Kalau kamu tinggal disini sama siapa?" Tanya Ayah sepekan lalu.

"Kan cuman setahun Reyna bisa jaga diri"

"Kalau begitu Ayah biarkan kamu tetap di Indonesia tapi dengan syarat"

"Apa syaratnya Ayah?"

"Nanti kamu tau"

Ternyata ini syarat yang Ayah maksud. Konyol sekali tak ikut mereka berdomisili ke negeri sebelah lalu mengapa harus dijodohkan?.

"Ada cara lain Bunda...." Cicitku rasanya masih shock mengetahui ini bukan candaan.

"Tidak. Cara lain apa? Mau tinggal sama nenek dan kakek? Atau paman dan tante kamu? Kamu tidak punya mereka semua Rey. Kalau kamu mau tinggal disini terima syarat Ayah. Kalau tidak siapkan barang-barang kamu, bulan depan kita ke Malaysia" tegas bunda.

Perkataan bunda sangat menyakitkan. Yah aku tak mempunyai kakek ataupun nenek. Tak ada paman dan tante. Mengapa? Katakan saja keluargaku masuk dalam kategori hampir punah. Jika Jepang akan punah untuk beberapa tahun akan datang maka sebelum itu mungkin saja keluargaku yang lebih dulu habis.

Nenek anak tunggal begitupun kakek. Mereka hanya mempunyai seorang anak yaitu Bunda. Jadi Bunda pun adalah anak tunggal. Lalu aku? Persis seperti Bunda. Aku anak seorang diri dalam keluarga Hasbalah. Sedangkan ayah saudaranya menetap di Singapura. Itupun Ayah hanya memiliki satu orang adik perempuan. Jadi Tante ku hanya satu, adik Ayah yang berdomisili di negara singa itu.

"Tapikan Bunda.... Ini.... Bunda..." Ucapan ku terbata-bata. Otakku yang menurut teman kelas ini pandai tak bisa menangkap kalimat untuk dijadikan alasan menolak perjodohan ini. Ucapan Bunda benar semua. Pemikiran konyolnya mampu membuatku tidak berkutik.

"Sudah pekan depan ikut Ayah Bunda makan malam dengan keluarga jodoh kamu" kalimat terakhir Bunda sebelum meninggalkanku sendiri diruang keluarga. Bunda menaiki undakan tangga menuju kamarnya. Lalu aku? Rasanya masih berharap ini mimpi buruk. Bahkan menjadi mimpi terburuk yang pernah ku alami.

Bagaimana nasib ku selanjutnya?.

-To Be Continue-

Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang