Pengakuan

16.1K 1.1K 22
                                    

“Qulil Haq Walau Kana Murran”

قل الحقّ ولو كان مرّا

Katakanlah Kebenaran Walau Itu Pahit

-Assalamualaikum Ketua Rohis-

-----

Suara langkah kaki sangat terdengar bising. Sudah sepuluh menit yang lalu waktu istirahat bergulir. Rasanya aku tak mempunyai tenaga. Batin ku terbebani hingga tenaga pun terkuras.

Ini memasuki hari ketiga sejak acara dinner bersama keluarga Raka berlangsung. Setiap pagi aku selalu berharap semoga kejadian dimalam Sabtu itu hanya mimpi semata. Mimpi yang tak perlu masuk dalam dunia nyata.

Nyatanya takdir tak selamanya searah dengan harapan. Aku pernah mendengar sebuah untaian kalimat "Allah tidak memberi sesuai yang kita harapkan tapi Allah pasti akan memberi apa yang kita butuhkan" jadi kesimpulannya apakah aku memerlukan seorang Raka?.

Aku akui Raka masuk dalam kategori pria sholeh. Tak ada celah selama ini yang aku dengar mengenai dia. Entahlah, mungkin tidak sebab aku benar-benar tak pernah respek terhadap pria itu.

Hubungan ku dan Raka. Konyol. Kami hanya bertegur sapa selama lebih dua tahun dapat dihitung jari lalu sekarang disatukan oleh hubungan yang sangat erat. Pernikahan bukan sekedar sebulan. Ini seumur hidup. Kecuali, Raka mengajakku kawin kontrak mungkin dapat dalam jangka waktu singkat.

Satu hal yang patut aku syukuri. Setidaknya setelah dinner di hari Jum'at aku mempunyai waktu tiga hari untuk memikirkan bagaimana respon ku kepada Raka. Bukan respon mengenai menyetujui pernikahan atau tidak. Sebab opini ku hanya angin lalu. Pernikahan sudah ditentukan.

Aku dan Raka ada dalam sekolah yang sama. Meskipun kurang lebih dua tahun radius jangka panjang berjarak jauh sudah ku bentangkan secara tak kasat mata, tetapi bagaimana pun sewaktu-waktu kami bisa berjumpa secara tak sengaja. Contohnya kejadian saat di lab.

Haruskah aku senyum sebagai calon istri yang baik? Atau haruskah aku bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi? Intinya aku bingung. Atau jangan sampai aku mengambil jalan tengah dengan melupakan hukum membunuh. Ah..  konyol.

Pagi tadi. Selepas upacara saat melewati koridor kelas ku dan Raka. Pria pujaan Bunda sedang duduk santai disana. Dan aku, meski ingin berlagak tak ada yang terjadi tetap saja dentuman keras merayap memasuki organ jantung ku. Dentumannya berubah abnormal.

Aku malu, aku kesal, aku ingin menjambak pokoknya segala perasaan aneh dalam satu waktu, satu peristiwa langsung aku rasakan. Dan Raka? Oh good. Pria itu tak ada perubahan. Dengan antengnya dia bersandar pada tiang koridor bersama Andi.

"Rey kamu ngak lapar?" Suara Ai menarik ku kembali ke alam nyata memutuskan pemikiran ku.

Aku menatap lekat Ai. Selama ini hanya ia yang dapat ku percaya.

"Gimana pendapat kamu kalau aku dijodohkan?" Tanya ku untuk membuka aksi curhat.

Wajah perempuan dihadapan ku yang bernama Aina terlihat sangat excited. Aku tau ia tipikal perempuan hobby membahas soal jodoh.

"Bagus dong. Diluar sana banyak yang pusing nyari jodoh kalau kamu dijodohkan kan bagus ngak usah pusing langsung sah" jawabnya.

Aku juga mikir seperti itu. Aku tak apa-apa dijodohkan. Sangat menerima jika Ayah dan Bunda menjodohkan aku. Tapi jika dalam konteks masih SMA rasanya hal konyol yang tak pernah masuk dalam list kehidupan yang aku rancang. Aku ingin menikah diusia 25 tahun bukan 16 tahun.

Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang