Kamu menjadi topik perbincangan ku di setiap hari
Entah waktu yang mengatur atau takdir yang berkehendak-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
"Kak Ley besok ulang" ini sudah kelima kali nya Qeiza mengucapkan kalimat yang sama.
Saat ini waktu Dzuhur telah berlalu, saat nya pergi ke rumah Bunda. Malam ini aku dan Raka akan bermalam di rumah bunda.
"Iya. Kak Rey besok pulang ke sini lagi" kataku mengelus pipi chubby Qeiza dengan posisi sejajar.
Sudah dari lima belas menit yang lalu, aku dan Raka berdiam diri tepat di pintu masuk. Qeiza merengek ingin ikut atau aku tetap tinggal.
"Qei, Abang pergi sebentar. Besok lagi yah main sama kakak Reyna nya" Raka begitu dewasa. Pria disamping ku ini mampu menyeimbangkan pola interaksi dengan adik nya. Ia sama sekali tak mengeluh untuk Qeiza.
Qeiza hanya mengangguk-anggukan kepala. Ia lalu memeluk leher Raka membuat Raka tertawa.
Sebegitu sayang nya Raka kepada Qeiza, apa pun yang gadis kecil itu lakukan mampu membuat nya tertawa.
Mama muncul untuk membawa Qeiza masuk kerumah. Aku dan Raka menyalimi mama sekaligus pamit. Meski baru semalam hidup seatap dengan mama Raka, namun aku sudah begitu nyaman.
Diperjalanan hanya suara deru kendaraan terdengar. Aku jadi bosan, mulut ku ini tak pernah bisa diam. Raka menyebalkan tak punya inisiatif buat mengajakku berbincang.
Meski kami telah menikah, entah kenapa kami masih menjadi dua manusia asing.
Meski takdir menyatukan, entah kenapa jarak tak bisa menghilang
"Hem...." Berdehem sebentar lalu aku menatap Raka yang sedang serius mengemudi "Raka, boleh nanya ngak?" Tanya ku.
Ia sempat menatap ku hanya beberapa detik selanjutnya kembali memfokuskan pandangan kearah jalan.
"Kamu tidak perlu izin buat bertanya" ia berbicara seakan sedang memimpin rohis. Intonasi nya sangat datar.
Aku tersenyum, setidaknya Raka tidak menunjukkan bahwa sirine mulut pedas nya akan keluar. Raka mood kalem.
"Itu kok Qeiza manggil kamu ayah?" Jelas aku kepo dari mana asal muasal suami ku ini diberi gelar ayah.
"Kenapa? Pengen dipanggil Ibu?" Kan aku sudah bilang Raka itu sekali ngomong terbelit-belit.
Ini yang katanya ngajak serius dengan nikah, tapi ngomong aja mutar-mutar tujuh kali tawaf.
"Eh? Raka ngak pernah ngajak aku nikah aslinya" batin ku menegur diri sendiri.
"Ngak usah di jawab" aku harus punya stok sabar ekstra untuk menghadapi Raka.
Bukan nya merasa bersalah, pria dibalik kemudi justru tertawa singkat. Meski sekilas aku sudah katakan senyum nya saja mampu membuat ku berdebar, jadi jangan tanyakan apa yang perasaan ku rasakan saat ia tertawa.
"Ayah sering ke luar kota urus pekerjaan. Ibu bilang ke Qeiza selama ayah tidak ada Abang yang jadi ayah Qeiza. Lambat laun Qeiza keseringan panggil aku Ayah" aku sudah tidak akan pernah meragukan keahlian seorang Raka menjelaskan. Selama dua hari ini aku selalu bertanya ia begitu menjelaskan hingga ke akar nya.
Aku mengangguk-anggukan kepala persis yang Qeiza lakukan didepan pintu tadi.
Kembali ku putar otak mencari topik selama perjalanan. Kalau ke iritan Raka dalam berbicara dijadikan poin mines untuk dirinya aku rasa itu tidak lah tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Horror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...