Apa mungkin ini bab pertama kisah perpisahan kita?
-Assalamualaikum Ketua Rohis-
-----
"Loh, Raka?" Kata ku takjub saat melihat di depan pintu kelas benar adalah Raka.
Aku melirik Aina yang mulai terlelap dengan lipatan tangan sebagai bantal. Aku kira gadis itu berbohong, mengatakan Raka ada di luar dan memanggil ku.
Raka tersenyum dengan mata yang juga ikut tertarik. Aku membalas senyum pria itu, bagaimanapun senyum Raka masih sama dalam mata ku. Ia adalah laki-laki pemilik senyum manis yang mampu membuat aku masuk IGD secara dadakan karena organ yang lalai dari fungsinya saat Raka tersenyum.
"Ini" katanya dengan tangan kanan menyodorkan kantong plastik hitam.
Alis ku beradu tanda bingung, memandang apa yang Raka bawa serta melihatnya juga secara bergantian.
"Aku lihat kamu di kantin tapi belum membeli sesuatu sudah keluar"
Ucap pria di hadapan ku ini mampu membuat melongo. Sungguh menakjubkan. Raka betul pria peka tanpa bilang pun sudah mengetahui keluhan. Jadi ini alasan pria itu kemari.
"Kenapa tidak titip ke Andi?"
"Dia sudah malas menjadi kurir"
"Jadi sekarang kamu Pak kurir?"
"Tidak terima pengantaran lain selain alamat Nyonya Reyna"
Aku langsung ketawa. Sudah lama kami tidak melempar canda seperti ini. Tanpa sadar sepertinya ada jarak diantara kami.
"Terimakasih" sungguh aku tulus mengucapkan itu untuk Raka.
Ia mengangguk dengan telapak tangan terangkat ke udara. Tangannya menggantung tepat di atas puncak kepala ku. Ia menggeleng singkat, sebelum tangan itu sempat mengelus kepala ku pemiliknya sudah menarik kembali tangannya.
"Maaf" mengapa minta maaf? Kamu selalu membuat kelakuan aneh Raka. "Makan dulu Rey sebelum ke lapangan" lanjutnya lalu berlalu pergi ke lantai dasar.
Aku masih diam menatap punggung yang telah sampai pada ujung koridor.
"Raka" nafas ku tersengal-sengal hanya untuk memanggil nama pria itu. Ada perasaan aneh yang aku rasa, sesuatu yang tidak bisa terdefinisi namun membuat sesak.
Jika biasanya ketika aku berbalik ia yang memanggil, maka sekarang aku yang memanggil dia.
"Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"
Dan, bisakah ia berhenti bersikap demikian? Bersikap bahwa kami benar-benar pasangan. Jika berani aku ingin berkata dengan tegas di hadapan Raka untuk berhenti berperan sebagai suami peduli dan perhatian. Itu akan sakit saat ia menambahkan penjelasan karena janji kepada orang tua ku.
"Tidak" menarik nafas aku lakukan. "di bawah panas, jangan lupa banyak minum"
Aku berbalik lalu memutus pembicaraan kedua kami di sekolah selama menikah.
Memang sepatutnya seperti ini, tidak akan baik saat kami ada dalam jarak dekat. Meski sepi dan kelas hanya aku bersama gadis yang sudah tidur itu tapi tetap saja sikap waspada begitu aku junjung tinggi.
Mata ku memanas ketika kantong plastik itu ku letakkan di atas meja. Tanpa membuka aku tau isinya pastilah roti dan air. Dua benda itu semakin memberatkan paru-paru memberi oksigen.
Hati ku semakin bersalah, aku ingin mengakhirinya tapi ego ku masih terlalu tinggi.
Berulang-ulang diri ini berkata, sabar, tinggal beberapa bulan lagi akan lulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Ketua Rohis (SELESAI)
Terror"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya aku yang untuk label "salehah" ini masih perlu dipertanyakan bisa menikah de...